13. Enam Jurus Ampuh Bu Tong

1.8K 27 1
                                    

Usianya memang lebih muda dari Ti Ciok, namun kepandaiannya justru lebih tinggi. Tapi sayangnya dia sudah bertempur cukup lama, tenaganya sudah banyak terkuras. 

Dia tidak sudi membiarkan nyawanya melayang begitu saja. Seorang manusia berpakaian hitam yang menyerangnya terdesak mundur sejauh tujuh langkah.

"Utang nyawa bayar nyawa!" teriak Bok Ciok kalap. Pedangnya berkelebat, mengejar bayangan manusia hitam tersebut.

Manusia berpakaian hitam itu kembali mundur satu langkah. Sedangkan orang yang memakai topi pandan berbentuk aneh segera mengadang di depannya. Bok Ciok memang sudah marah Sekali. 

Dia tidak peduli seberapa tinggi ilmu yang dimiliki si topi pandan. Pedangnya memutar segala arah. Orang itu terpaksa mundur beberapa langkah. Bok Ciok tidak memberinya kesempatan. Sekali lagi dia mengayunkan pedangnya. Kali ini dari atas ke bawah. 

Topi orang itu terbelah menjadi dua bagian. Di situ pula letak kesalahan Bok Ciok. Semestinya dia tidak ambisius melihat wajah orang itu. Karena begitu melihatnya, dia menjadi terpana seketika.

Wajah itu rata semua. Tidak ada alis, mata, hidung maupun mulut. Persis sebuah telur saja. Hati siapa pun akan tercekat melihat pemandangan demikian.

Dan Bok Ciok sendiri seumur hidupnya belum pernah melihat manusia semacam ini. Mulutnya terbuka, matanya membelalak. "Kau ..?" katanya tanpa sadar.

Justru karena perhatiannya terpecah itulah, manusia aneh itu mempunyai kesempatan untuk menikam jantungnya dengan pedang yang panjangnya luar biasa itu. Rasa sakit segera menyerang. Bok Ciok menjerit ngeri. Darah menyembur. Dengan susah payah dia mendekap dada. Kakinya limbung, langkahnya terhuyung-huyung. Akhirnya roboh ke tanah dan mati seketika.

Manusia tanpa wajah itu membalikkan tubuhnya perlahan. Wajahnya yang rata terlihat semakin pucat tersorot cahaya rembulan. Beberapa tetes darah mengucur dari bagian depan kepalanya. Rupanya pedang Bok Ciok sempat melukainya. Namun sayang sekali tidak cukup dalam untuk merenggut jiwanya, Manusia tanpa wajah itu menenangkan dirinya sesaat. Kemudian sepasang kakinya menutul, tubuhnya melesat tinggi dan melayang ke dalam keluarga Fu.

Para manusia berpakaian hitam yang masih tersisa bersorak kesetanan. Mereka ikut menyerbu ke dalam keluarga Fu dan membunuh siapa saja yang ada di dalam rumah.

Air sungai beriak-riak. Kabut belum membuyar. Daerah di seberang sungai tidak terlihat. Namun airnya dapat terlihat jelas. Ci Siong tojin dan Fu Giok-su berdiri berendengan. Mata mereka menatap di kejauhan. Sinar mata Fu Giok-su menatap arah yang mereka lalui tadi. Ci Siong tojin menatap aliran yang seakan tidak terbatas.

Angin dingin melambaikan rambut Ci Siong tojin. Matanya berkedip satu kali. "Hari sudah terang," katanya lirih.

"Mengapa mereka masih belum menyusul?" tukas Fu Giok-su tanpa sadar.

"Apakah kau menjanjikan keluargamu untuk bertemu di tempat ini?" tanya Ci Siong tojin.

"Aku mengatakan bahwa mereka harus menunggu aku di tempat peristirahatan dekat tepi sungai. Dalam jarak dua puluh li dari sini memang hanya ada satu tempat peristirahatan ini saja," sahut Fu Giok-su sambil mengedarkan pandangannya dengan gelisah.

Sayup-sayup terdengar suara roda kereta. Namun datangnya dari arah yang berlawanan.

*****

Suara kereta semakin dekat. Akhirnya terlihat serombongan kereta membawa peti mati dalam jumlah banyak melintas di samping mereka. Puluhan laki-laki dengan bertelanjang dada dan kening berkeringat mendorong kereta-kereta tersebut. 

Sedangkan di bagian tengah berjalan seorang laki-laki bertubuh gemuk dan bertampang pengusaha. Dia memberi perintah kepada para laki-laki bertelanjang dada itu agar mendorong kereta berisi peti mati itu lebih cepat.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now