9. Pendekar Wanita yang Kesepian

1.6K 30 0
                                    

Pintu segera dibuka, empat orang laki-laki berpakaian merah berdiri di depan pintu. Ketika melihat Ti Ciok, mereka langsung mengajukan pertanyaan, "Apakah Ci Siong tojin ada di tempat?"

"Pinto ada di sini," sahut Ci Siong tojin sambil melangkah keluar.

Kedua suami istri tua itu mendengar suara percakapan. Mereka segera ikut keluar. Melihat kehadiran keempat orang laki-laki berpakaian merah tersebut, wajah mereka berubah hebat. Ci Siong tojin menoleh kepada kedua orang itu.

"Pinto sungguh menyesal telah mengejutkan kedua orang tua," katanya.

Kakek dan nenek itu tidak bisa mengatakan apa-apa.

"Tamu agung telah datang dari jauh, maafkan kami terlambat menyambut. Harap jangan disimpan dalam hati," kata salah seorang laki-laki berpakaian merah tersebut.

"Tidak perlu banyak adat," sahut Ci Siong tojin sambil tampil ke depan. Bok Ciok dan Ti Ciok mengawal di kedua sisinya.

"Kota Cui Hun Ceng di depan sana memiliki sebuah penginapan bernama Go Hok Kek-can. Kami sudah menyiapkan berbagai hidangan yang lezat untuk para totiang. Kami juga sudah menyediakan tiga buah kamar. Anggota Bu-ti-bun cabang Cui Hun Ceng berjumlah seratus tujuh puluh dua orang sudah berkumpul di depan kota menyambut kedatangan para totiang," kata laki-laki berpakaian merah yang tadi.

Ci Siong tojin tertawa datar.

"Pinto bertiga tentu tidak enak membiarkan mereka menunggu begitu lama. Ti Ciok, siapkan semuanya."

Ti Ciok mengiakan. Dia segera menarik kuda-kuda mereka ke depan rumah. Keempat laki-laki berpakaian merah juga menunggangi kuda masing-masing. Dua orang berada di depan sebagai penunjuk jalan. Malam sudah menjelang.

*****

Belum lagi memasuki kota, lampu-lampu sudah terlihat. Dua baris lentera di sepanjang jalan terlihat seperti dua ekor ular panjang. Malam semakin larut, lentera semakin terang. Barisan lentera memanjang dari tembok kota sampai penginapan Go Hok Kek-can. Seratus tujuh puluh dua anggota Bu-ti-bun berdiri memanjang di kiri kanan jalan. Di pinggang mereka terselip sebatang golok baja. Tangan kanan memegang sebuah lentera. Dada mereka dibusungkan. Berdiri tegak tanpa bergerak ataupun berbicara.

Di bawah sinar rembulan pakaian mereka yang berwarna merah seperti segumpal darah. Mata mereka pun ikut berwarna merah karena pantulan sinar lentera. Bumi dan langit mencekam, jalan panjang membisu.

"Suhu ... lihat!" kata Ti Ciok sambil menunjuk ke arah barisan orang-orang yang membawa lentera.

"Sungguh besar lagak Bu-ti-bun, semua kegagahan yang ditampilkan ini sudah pasti memang sengaja dipamerkan kepada Bu-tong-pai!" tukas Bok Ciok.

"Suatu hari apabila Bu-ti mengunjungi Bu-tong, kita harus tunjukkan penyambutan yang lebih meriah. Biar mereka mengerti bahwa Bu-tong-pai selamanya tidak kalah dengan Bu-ti-bun," sahut Ti Ciok.

Ci Siong tojin hanya tertawa datar mendengar perkataan kedua muridnya.

*****

Mereka melintasi jalan panjang. Derap kaki kuda yang berbunyi "Tik tak, tik tak" memecahkan kesunyian malam.

"Trang!", seratus tujuh puluh dua anggota Bu-ti-bun menghunus golok mereka serentak. Mulut mereka mengeluarkan suara teriakan nyaring. Sinar golok seperti salju. Pakaian mereka yang merah ibarat lempengan besi. Suara teriakan mereka seperti guntur yang menggelegar memecah angkasa.

Sinar lentera bergerak-gerak. Untuk sesaat suasana bagaikan langit runtuh ke bumi. Wajah Bok Ciok dan Ti Ciok berubah hebat. Sedangkan Ci Siong tojin tenang saja. Seakan tidak ada apa-apa sama sekali.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now