46. Hutang Berujung Pertikaian

1.5K 24 1
                                    

Senja hari ... 

Hujan belum juga berhenti. Di sepanjang jalan menggenang air dan tanah kotor. Hujan kali ini sudah turun selama tiga kentungan. Pek-ka-cik yang biasanya ramai oleh lalu lalang para penduduk ataupun tamu-tamu yang singgah menjadi hening.

Di jalanan masih ada dua tiga orang yang sedang berjalan. Namun langkah kaki mereka tampaknya tergesa-gesa. Siapa pun tidak ingin berlambat-lambat berjalan di bawah hujan yang lebat seperti itu. Mereka pun segan menoleh ke arah orang lainnya. Oleh karena itu, kehadiran Tok-ku Bu-ti tetap tidak menarik perhatian siapa-siapa.

Pakaian yang dikenakan Tok-ku Bu-ti masih sama dengan sebelumnya. Hanya topi pandannya yang tidak dikenakan lagi.

Di tangannya tergenggam sebatang payung yang terbuat dari kertas minyak. Langkah kakinya tidak terlalu cepat. Dengan santai dia menuju toko keluarga Tio yang menjual peti mati.

Hari ini merupakan hari ketiga puluh setelah kematian Yan Cong Tian.

* * *
Di depan toko keluarga Tio tergantung sebuah lentera. Lentera tersebut berwarna putih. Di bawah cahayanya yang remang-remang, toko itu tampaknya lebih menyeramkan dari sebelumnya. Pintunya masih juga tertutup rapat. Tok-ku Bu-ti mengulurkan tangannya mendorong pintu tersebut. 

Dia melangkah masuk dengan tenang. Tidak terlihat bayangan seorang pun di sana. Dia merapatkan kembali pintu toko itu.

Setelah itu dia duduk di atas sebuah bangku panjang yang terbuat dari papan.

"Aku sudah datang!" katanya seperti kepada dirinya sendiri.

"Selamat datang ... " Terdengar sahutan dari balik sebuah peti mati. 

Kemudian muncullah si bungkuk yang menyambutnya tempo hari. Tangannya membawa sebuah lentera.

Penampilannya tidak berbeda ketika pertama kali Tok-ku Bu-ti melihatnya. Mata Tok-ku Bu-ti memandang ke sekeliling kemudian berhenti pada wajah si bungkuk.

"Ternyata kalian memang tidak membuat aku kecewa."

Si bungkuk tertawa datar. "Di sini kami sebetulnya telah menyediakan sebuah peti mati bagi Yan Cong Tian. Sayangnya meskipun anggota kami itu berhasil membunuh Yan Cong Tian, tapi tidak ada satu pun yang berhasil membawa pulang mayatnya. Bahkan mereka pun semua sudah menjadi mayat."

"Tidak ada satu pun dari mereka yang hidup?" tanya Tok-ku Bu-ti entah benar-benar keluar dari hati yang tulus atau sekedar menyindir.

"Tidak ada ... " Si bungkuk mengaku terus terang. "Tapi bagaimana pun mereka berhasil menyelesaikan tugas dengan baik."

Wajah Tok-ku Bu-ti berubah serius. "Ternyata Tian Sat bukan sekedar nama kosong. Aku benar-benar tidak dapat membayangkan, bagaimana kalian bisa menggebah para tukang yang asli dan menyusup ke sana sebagai tukang-tukang palsu. Namun pekerjaan mereka memperbaiki
bangunan rupanya boleh juga sehingga selama itu tidak pernah menimbulkan kecurigaan anak murid Bu-tong-pai."

Si bungkuk tertawa dingin. "Hehehe, Kau tahu semuanya?"

"Aku juga tahu mereka menyembunyikan senjata-senjata mereka dalam kotak di mana tersimpan peralatan pertukangan. Ada juga yang menyelipkannya di celah-celah tiang bangunan. Aku juga tahu jala-jala yang disediakan untuk memerangkap Yan Cong Tian adalah jenis jala yang istimewa. Dapat dikembangkan dan dapat ditariki kembali sesuka hati kalian."

"Tidak mudah menemukan rahasia mereka. Lebih sulit lagi dapat menemukan rahasia mereka tanpa diketahui oleh mereka sendiri." Suara si bungkuk semakin dingin.

"Aku tidak bermaksud buruk. Tadinya aku mengira kalau-kalau mereka akan gagal dan aku bisa mengulurkan sedikit bantuan," sahut Tok-ku Bu-ti dengan nada ikhlas.

Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang YingWhere stories live. Discover now