Part 16 - He's Gone

56 9 0
                                    

----

"Kenapa lo? Senyam senyum kek gitu. Ngeri gue liatnya!"

"Ngak kenapa-kenapa gue lagi seneng aja."

"Eh seneng yah? Kagak mau bagi gitu."

Aku hanya senyum melihat kelakuan super duper kepo dari sahabat ku ini. Siapa lagi kalo bukan si Farhan. Eh iya, aku ngak tau dia di sini ngapain soalnya dia tidak pernah lepas dari ku.

"Masalah gue udah selesai, gue udah bisa hidup tenang di sini."

Aku melihatnya menghela nafas panjang dan aku tau kalo dia punya beban pikiran.

"ada apa? Apa ada yang salah?"

Lagi-lagi dia diam dan good sekarang perasaan gue ngak enak. Apa yang terjadi?

"Gue bakal balik ke Indonesia!"

Aku tertegun mendengar pernyataannya. Apa dia ingin ninggalin Aku di sini? Tapi apa aku bisa tanpa dia? Secara aku udah terbiasa selalu dengannya.

"Why?"

Aku tertunduk dan air mata ku tumpah begitu saja. Aku tidak ingin dia pergi. Aku tau aku egois tapi apa harus?

"I must Lexa, kerjaan gue udah selesai dan sekarang gue harus ngalanjutin kerjaan gue di Indonesia."

Aku bodoh! Lagi-lagi aku melakukan hal bodoh. Aku ngak boleh egois kali ini.

Aku langsung menghapus jejak air mata ku dan berusaha menahannya agar tidak merembes keluar lagi. Aku langsung aja menarik kedua sudut bibir aku membentuk sebuah senyuman.

"Ngak apa-apa! Lo balik aja lagi. Tapi jangan lupain gue. Gue kangen banget pastinya sama lo."

"Beneran ngak apa-apa? Lexa lo dengerin gue!"

Farhan memegang kedua pundak ku sehingga aku dan dia berhadapan sekarang.

"Ini bukan kemauan gue Lexa, rasanya gue ngak pengen pergi dari sini. Kalo boleh milih gue bakal milih tetep di sini sama lo. Tapi gue ngak bisa."

Farhan berusaha meyakinkan ku tapi sial saja air mata ku kembali keluar dan meninggalkan jejak di pipi ku.

"Jangan nangis, gue ngak pingin lo nangisin gue. Lagian gue ada di Indonesia kok ngak kemana-mana. Lagi pula kalo lo atau gue lagi kangen kita bisa video call atau gunain medsos buat komunikasi. Jadi jangan sedih."

Aku ngak bisa menahannya lagi, aku terus terisak dan dengan tiba-tiba aku memeluk tubuh tegapnya itu.

----

"Hoaammm...."

Aku di kamar? Bagaimana bisa? Apa gue mimpi yah semalem. Tapi kok nyeremin banget yah.

Aku berjalan menuju ke arah cermin besar yang tersedia di kamarnya.
Mata bengkak? hidung memerah? Tidak! Tidak! Itu bukan mimpi. Semalem gue nangis sampe tertidur di pelukan Farhan.

Aku mengingatnya! Kapan dia akan berangkat? Apa sekarang dia sudah pergi?
Astaga, aku bisa gila kalo pertanyaan itu terus ada di kepala ku.

Aku langsung berlari menuju apartemen sebelah. Dengan mata yang kembali berair.

"Eh, Tia where are you going?"

Aku tidak menghiraukannya dan tetap berlari. Apa dia pergi tanpa melihatku dulu?

Sampai di apartemen sebelah aku langsung memencet bel nya berkali-kali. Aku hanya berharap dia masih di sini menungguku.

Pintu apartemen terbuka dan siapa dia? Yang membuka pintu itu orang asing. Aku tidak pernah melihatnya di sini.

"Who are you?"

"Oh, Hii.. I am Albert. I am your new neighbor. Nice to meet you."

"what people who previously lived here is gone?"

"I think yes."

Dia benar-benar pergi. Tanpa aku melihatnya. Tanpa ada kata pamit sebelum pergi. Kenapa rasanya sangat cepat.

Aku tersenyum ke arah pria tadi, aku rasa senyum itu sangat terlihat dipaksakan sehingga pria itu mengeryit bingung.

"Thanks."

Aku kemudian pergi dari hadapannya dan kembali ke apartemen.

"Lo dari mana sih? Asal lari aja bikin orang khawatir tau ngak!."

Seperti biasa, setiap menyikapi suatu masalah akan ada Ira yang selalu bisa berfikir dewasa.

"Are you okay?"

"I am okay Cindy, kalian ngak usah khawatir."

Aku berusaha tersenyum dan menghiraukan kesedihan ku. Tanpa aba-aba dan tanpa ku duga Ira dan Cindy memelukku seakan mengatakan kau tidak sendiri jadi jangan merasa kesepian.

Aku menumpahkan air mata ku di pelukan mereka, sungguh! Aku sudah tidak mampu untuk tetap menahannya.

"Tidak apa-apa. Lo boleh nangis sepuas yang lo mau tapi lo harus janji kalo lo udah selesai lo harus baik-baik saja."

Aku mendengar perkataan Ira dengan baik. Aku menangis sejadi jadinya di pelukan mereka. Aku tidak perduli apa baju mereka akan basah karena tangis ku.

***

DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang