Part 18 - Penolakan

49 8 0
                                    

----
Setelah engkau tidak memiliki perasaan apapun kepadanya tetapi dia memberitahukan kepadamu tentang keterlambatannya itu apa kau akan menerimanya
----

"Tia."

"Apasih Rey, pagi-pagi udah teriak-teriak."

"Ini, eh.. itu."

"Apasih? Ini, itu, ah, eh. Gaje bett dah lo."

"Ini, eh.. gue pengen ngomong sama lo!"

Aku bingung melihat sikap Rey, apa dia sakit yah. Tapi badannya kelihatan fit kok.

"Lo emang dari tadi ngapain?"

"Eh itu, ini penting. Gue pen ngomong tapi ngak di sini."

"Yaudah ikut gue!"

Aku membawanya ke sebuah cafe, setelah sampai aku hanya memesan minum dan menunggunya berbicara.

"Sebelumnya gue pen minta maaf sama lo, karena tingkah gue dan sekarang gue nyesel."

Aku memperhatikannya, apa itu menyangkut masalah yang di villa tapi aku rasa itu sudah selesai.

"Aku tau lo hancur dan kecewa sama gue. Sumpah gue ngak tau apa-apa waktu itu."

"Tunggu, ini masalah apa sih. Gue kira masalah kita udah selesai."

"Jangan potong pembicaraan dulu Tia!"

"Iya-iya, gitu aja lo marah eh."

"Gue tau perasaan lo waktu itu, apalagi saat kau melihat langsung yang gue dan Sintya lakukan saat itu. Yah, tontonan memalukan itu."

Apa dia sudah mengetahuinya? Apa dia tau sesuatu? Aku bisa gila kalo begini.

"Lo benar, gue udah tau kalo lo dulu.."

Ucapannya menggantung dan sungguh aku deg-degan.

"Lo dulu suka dan sayang sama gue."

Deg

Jantung aku benar-benar mencolos sekarang. Dia mengetahuinya aku berusaha mengontrol semuanya aku tidak ingin mengingat perasaan itu kembali.

"Gue nyesel Tia! Gue ngak tau apapun waktu itu. Tapi sekarang gue tau semuanya. Gue tau gue udah ngelakuin hal bodoh dulu tapi apa boleh gue perbaikin itu semua."


"Ehmm, maaf Rey. Maaf banget! Tapi gue ngak bisa. Gue udah usahain buat ngelupain perasaan bodoh gue itu dan see gue berhasil."

"Gue tau Tia, tapi apa ngak ada kesempatan lagi? Gue emang bodoh karena baru sadar sekarang. Gue.. gue ngak rela lo asal meluk cowok, asal cium cowok kek kemarin. Gue berasa terbakar Tia. Gue emang tolol karena terlambat menyadarinya."

"Maafin gue Rey, tapi lo emang bener-bener udah ngak bisa milikin hati gue. Gue udah menatanya lagi. Gue mohon jangan buat berantakan lagi Rey."

Rey menunduk, aku mencoba untuk mengangkat kembali kepalanya agar dia menatap ku. Tapi yang kulihat benar-benar mengejutkan.

Seorang Reyhan menangis hanya karena dia tidak di berilan kesempatan lagi. Ini benar-benar di luar dugaan ku.

"Hey, apa ini?"

Aku menghapus air matanya yang berhasil keluar.

"Seorang Reyhan menangis? Reyhan ngak segitu lemahnya."

Aku mengusap pipinya dan aku melihatnya menutup mata dan tangannya memegang tangan ku yang berada di pipinya.

"Hey, liat aku! Kita memang tidak bersama sebagai sepasang kekasih. Tapi kita akan selalu bersama sebagai sepasang sahabat yang akan saling melindungi."

Aku memeluknya berusaha menyalurkan kekuatan padanya. Aku sangat mengerti perasaan seperti ini.

"Sudah, sekarang tersenyumlah dan buat cerita baru untuk kita. Lo ngerti kan?"

Rey tersenyum dan mengangguk pertanda mengerti tingkahnya itu justru membuat ku terkikik geli.

"Dasar cengeng!"

----

"Fa!!"

"Kenapa lo?"

"Gue bakal menetap di sini."

Farhan menatap ku seakan tidak percaya dengan apa yang ku katakan.

"Gue dapet job di sini. Tapi tenang aja! Gue bakal balik tiap liburan."

"Aduhhh, Fa!!! Ini gue kenapa di cubit? Mana pedes banget lagi."

"Lah, lo sih. Asal ceplos aja kalo ngomong. Emang liburan lo itu kapan dan berapa lama sih? Lo kira itu cepet hah? Bahkan gue yakin kalo lo udah libur lo bakal milih bermalas-malasan di tempat tidur daripada capek perjalanan. Belum lagi German-Indonesia jauh."

Aku memerhatikannya tanpa berkedip sama sekali. Dia menikmati pemandangan di depannya ini. Wajah Farhan yang memerah karena emosi dan tetap berbicara banyak adalah hal yang menarik.

"Astaga, hallo!!! Back to world Lexa."

"Eh! Apa? Lo ngomong something?"

"Ngak, gue ngak ngomong dari tadi. Ck, jelas-jelas gue ngomong panjang lebar tadi."

Sekarang giliran ku mencubit pipinya, dia sangat menggemaskan.

"Gue denger apa yang lo bilang. Ehmm, tapi gue dapat job yang bagus di sini. Dan beberapa bulan lagi gue bakal ganti kewarganegaraan. Dari Indonesia menjadi German."

"Ck, emang ngak boleh apa kalo lo di Indonesia. Apa lo masih mampu gitu ngak tinggal sama keluarga lo dan milih sebatang kara di sini. Ah, lo mah tega eh."

"Ck, Fa kenapa lo keras kepala banget sih. Gue tuh cuman di German. Kalo lo kangen lo bisa Vc atau gunain medsos lainnya."

Aku mengulangi kata-katanya tiga tahun yang lalu. Aku melihatnya mencebikkan bibir tanda dia kesal.

"Ck, kreatif dikit kek! Malah copas buatan orang lain."

"Batu lo! Udah ah gue mau masuk aja. Lo orang pertama yang tau soal ini. Temenin gue buat ngasih tau yang lain."

Aku menariknya tanpa ingin mendengar penolakan. Aku akan tinggal di negeri ini. Sebenarnya aku sudah mendapatkan job itu sejak lama. Hanya saja aku ingin mendapatkan kelulusan ku dulu.

***

DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang