SATU

7.3K 517 20
                                    

Pagi ini, aku berdiri di hadapan makam Ayah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini, aku berdiri di hadapan makam Ayah. Tak ada rencana ziarah khusus selain kebiasaanku selama beberapa tahun terakhir untuk selalu mampir dan berdialog seorang diri di sini. Terutama, ketika aku tengah merasa butuh teman cerita.

Ayahku bernama Anan. Namanya diambil dari bahasa Arab yang berarti awan. Jika orang mengenal ayahku, mereka pasti tahu kenapa aku dinamai Mathar. Nama yang tak umum digunakan namun memiliki arti yang sesuai dengan nama ayahku sendiri: hujan.

Mungkin ia menamaiku begitu karena kedua hal tersebut, awan dan hujan, memiliki keterikatan satu sama lain. Karena hubungan yang istimewa itulah, hingga mudah baginya untuk mengingatku, atau begitu pula sebaliknya.

Ayah meninggal empat tahun lalu. Sebuah kepergian mendadak tanpa firasat. Ia terjatuh di kantin kantorku. Tanpa keluhan sakit apapun sebelumnya. Diagnosa dokter, Ayah meninggal karena penyakit jantung yang tak pernah terdeteksi. Karena Ayah memang tak pernah mengeluh soal kondisi fisiknya selama ini.

Sejak kepergian Ayah, aku tinggal sendiri di rumah kami di timur Jakarta. Tanpa rekan, tanpa kerabat. Rumah Ayah sudah lama sepi dan dingin. Terkecuali dua lelaki tak beristri yang tinggal di dalamnya. Sehingga aku dan Ayah lebih cocok disebut teman indekos ketimbang sebagai orangtua dan anak.

Ayah sudah hidup menduda sejak lama. Konon, ia menikah di sebuah kota di daerah Sulawesi. Pernikahannya tak benar-benar direncanakan karena (konon) Ayah bekerja sebagai pedagang di masa mudanya. Ia berkelana antar pulau di Nusantara hingga menyambangi Indonesia Tengah. Di sanalah ia bertemu Ibu. Mereka jatuh cinta, yang lagi-lagi (konon) karena cinta pada pandangan pertama. Menikah dengan modal seadanya, lalu Ayah mesti kembali ke Jakarta atau berkelana ke pulau lainnya demi mencari nafkah.

Di antara banyak jeda pertemuan, Ayah dan Ibu tetap mampu beranak-pinak. Dari keduanya, lahirlah aku dan seorang bayi perempuan yang tak pernah kukenali wajahnya seumur hidup. Adikku bernama Iris. Ibu yang menamainya. Kata Ibu, artinya pelangi. Agar Ayah, aku dan Iris menjadi tiga serangkai yang selalu mampu diingatnya setiap kali menatap langit. Mungkin, jika Ibu sempat melahirkan anak ketiga. Anak itu pun akan dinamai Langit. Entah.

Aku tak pernah betul-betul mengenal wajah Iris. Karena hampir setahun setelah Iris dilahirkan, aku diboyong Ayah ke Jakarta. Menetap di Ibu Kota dan tak pernah menengok lagi kota kelahiranku.

Bertahun-tahun lamanya, ketika aku kecil dahulu, aku tak pernah bertanya tentang sebab. Namun, di beberapa tahun terakhir sebelum Ayah meninggal. Mungkin karena dipikirnya aku sudah cukup dewasa. Sehingga Ayah mulai membagi cerita hidupnya kepadaku.

Ayah mengisahkan, pernikahan yang konon didasari cinta pada pandangan pertama itu, tak lagi sukses di pandangan-pandangan berikutnya. Selain karena jarak dan minimnya pertemuan, pihak ketiga juga membuat hubungan Ayah dan Ibu tak bertahan.

Pesan Ayah, jangan nikahi perempuan yang orangtuanya terlalu ikut campur urusan rumah tangga anaknya. Ayah punya pengalaman buruk tentang itu. Dan aku dimintanya belajar dari kesalahan masa lalu itu.

Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang