DUA PULUH ENAM

1.1K 120 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ibu Kota serupa kumpulan kunang-kunang di waktu malam.

Di salah satu sudutnya aku terdiam. Mengamati setiap kerlip dari kendaraan dan lampu-lampu jalan, juga refleksi gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Tak ada yang perlu diperbaiki lagi, sebab aku dan Iris telah bertemu dan menyampaikan isi hati dan pikiran kami masing-masing. Tak perlu lagi debat, karena tampaknya akan ada satu keputusan di ujung cerita ini. Meski saat ini, tak bisa disebut juga bahwa perasaan kami baik-baik saja.

Aku tahu, di sana, ia memiliki gundah yang sama.

Namun, apa lagi yang mesti dibicarakan sedang di sisa-sisa pertemuan kami yang terakhir, Iris sudah menyatakan, bahwa saat ini ada jeda yang perlu kami ambil. Atau, ia yang butuh itu? Entahlah. Saat ini aku sedang lelah. Lelah membicarakan perasaanku sendiri.

Ibu Kota masih serupa kunang-kunang. Malam ini, aku tak ingin pulang...

* * *

Percakapan-percakapan tak penting yang biasanya terjadi, tak muncul lagi. Kalaupun ada pesan dari Iris, hanya sebuah pengingat agar aku cukup istirahat dan tidak terlalu lelah bekerja agar tidak jatuh sakit.

Perhatian dan kepeduliannya tidak berkurang sama sekali. Namun, itu justru membuatku sakit. Mengetahui seseorang yang sudah menyatakan akan pergi, tetapi tetap hadir sesekali hanyalah menjadikan hatimu punya harap yang tak pasti.

Hari-hari setelah malam itu, menjelang tenggat satu minggu yang Iris katakan. Bahwa aku haruslah memahami keputusan yang telah ia buat. Sayangnya, tak juga aku bisa mengerti pilihan tersebut. Sekalipun ia telah menyebutkan sejumlah alasan, bagiku sama saja. Segala hal yang berhubungan dengan hati, seringkali sulit untuk dimengerti.

Maka, dua hari menjelang kepergian Iris, aku memilih mendatanginya. Pria buncit yang menjaga indekos tak lupa wajahku. Ia membukakan pintu dan kali ini tatapannya berubah lebih ramah.

"Sudah telepon dulu belum?" tanyanya. Aku menggeleng. Menghadirkan wajah kesal khas orangtua yang mendapatkan jawaban ngeyel dari sang anak.

"Saya panggilkan. Tunggu di situ ya." Ia menunjuk bangku di sudut, dan aku mengangguk patuh.

Iris muncul kali ini. Berbalut pakaian tidur warna putih. Rambutnya tergerai jatuh dan pulasan wajahnya sudah bersih.

"Kamu nggak bilang mau ke sini?" Ia sedikit heran menemukan kehadiranku.

"Bagaimana kabarmu?"

"Cuma mau nanya itu?" Ia balik bertanya. Apakah aku seperti tengah berbasa-basi baginya?

"Lusa?" Aku berterus terang.

"Aku sudah mengundurkan diri dari kantor. Mereka protes. Atasanku marah. Katanya, keputusanku terlalu mendadak. Aku tahu mereka benar. Seharusnya, prosedurnya memang tidak boleh begitu."

Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang