Tak pernah ada cerita tentang dia. Tidak lewat tulisan, tidak juga lewat kata-kata. Aku tak pernah melihat wajah bayi Iris. Tak mendengar gelak tawa masa balitanya ketika aku menghiburnya dengan canda cilukba, atau membawanya berlarian di lapangan dalam gendongan. Tak pernah juga aku melihat Iris belajar berjalan. Aku juga tak pernah menemaninya berangkat dan pulang sekolah. Atau mesti membantunya membuatkan prakarya untuk tugas sekolah. Tak ada juga cerita tentang cinta pertama ketika ia beranjak remaja. Atau tangisan patah hati yang mesti ia curahkan kepadaku di dalam kamar, sembunyi-sembunyi dari kedua orangtua kami.
Tak ada itu semua.
Kedatangan Iris serupa orang asing bagiku. Yang tahu-tahu muncul untuk menanyakan keberadaan Ayah. Yang ingin menyampaikan pesan dari almarhum Ibu. Yang diperintahkan agar menemuiku, dan memberi tahu bahwa aku adalah satu-satunya saudara sedarah yang ia punya.
Sulit bagiku untuk memisahkan fakta bahwa kami terikat dalam hubungan keluarga, dan sulit pula untuk menepikan perasaan bahwa ia adalah seorang perempuan muda yang tiba-tiba hadir seperti kebanyakan orang lainnya, dan kemudian aku menaruh hati padanya.
Malam ini, di ruang tunggu stasiun Gambir, aku menanti kepulangan Iris dari Bandung. Rasanya, sama seperti lelaki-lelaki lainnya yang menunggu sang kekasih pulang. Duduk dengan penuh harap sambil memeriksa arloji sesekali. Yang membayangkan sosok yang dinanti muncul dari salah satu sudut dengan senyum yang merekah dan pelukan hangat sebagai sambutan kepulangan.
Sampai ketibaan Iris benar-benar ada. Dan aku bersiap menjemput hadirnya. Aku mengambil alih ransel yang disandang di punggungnya, dan menggamit sebelah lengannya. Ia tampak sedikit lelah, meski lengkung senyum itu tak surut selama berada di sisiku.
"Kamu sudah makan? Atau mau cari kopi dulu?"
"Kita langsung pulang saja. Aku capek."
"Baiklah." Aku menuruti pintanya. Menuntunnya masuk ke dalam mobil dan meninggalkan pelataran parkir stasiun.
"Kalau kamu capek, pulang ke rumahku saja. Ada Nana yang bisa melayanimu besok pagi." Aku menyarankan.
Iris memijat-mijat keningnya, tak mengiyakan saranku. Kuperhatikan wajahnya baik-baik, ia tak tampak segar seperti biasanya.
"Kamu nggak enak badan?"
Iris menggeleng.
"Kelihatannya begitu. Ya sudah, menginap di rumahku saja ya."
Ia masih tak menjawab. Maka, aku memutuskan sendiri saja. Membawanya pulang.
* * *
"Teh hangat tawar ya, Na," pintaku pada Nana begitu tiba di rumah.
Nana langsung beringsut ke dapur, sementara aku membawakan tas ransel Iris ke kamar dan ia sendiri melemparkan tubuhnya ke sofa.
"Apa jadwal liputannya padat?" tanyaku.
"Lumayan."
"Besok kamu off, atau sudah harus masuk kantor?" Aku kembali bertanya.
"Off satu hari," jawabnya. "Apa aku boleh istirahat seharian saja di rumah?"
Ia tak perlu meminta sebetulnya. Ia mau menginap berhari-hari pun akan kuizinkan.
"Perlu kutemani besok?" tanyaku.
Iris mengedikkan bahu. Kali ini, kuperhatikan wajahnya tampak tak nyaman. Ia terlihat sedikit gusar. Kuhampiri ia, duduk persis di sebelahnya. Sambil meminta sebelah tangannya untuk kugenggam.
"Kamu baik-baik saja?"
Iris tak menjawab.
"Ada masalah?"
Ia menjatuhkan tatapannya kepadaku, tanpa sepatah kata pun. Perlu waktu sekian detik baginya untuk memulai kemudian.
"Tante Ratna meneleponku sewaktu aku di Bandung."
"Menelepon? Untuk apa?"
"Memintaku datang ke rumahnya. Tapi aku bilang, aku sedang tugas di luar kota."
"Lalu?"
Iris kembali terdiam sejenak. Dan melanjutkan dengan tatapan yang tengadah ke langit-langit rumah.
"Ia membicarakan tentang kita."
"Lagi?"
"Mungkin memang akan selalu seperti itu."
"Aku sudah bilang padamu dari awal, kan?"
"Aku tahu ini akan terjadi. Tapi..."
"Tapi apa?"
"Mungkinkah kita harus memberi jeda pada diri kita, Mathar?"
"Maksudmu? Kita menyudahinya?"
"Aku tak berani bilang begitu."
Aku menegakkan dudukku, menatap penuh kepada Iris yang terus memancarkan kegelisahan di matanya.
"Aku pernah mencoba melakukannya Iris. Dan kamu tahu, apa hasilnya? Aku terus memikirkanmu. Aku nggak bisa berpisah denganmu."
Iris ikut menegakkan duduknya. Ia menangkupkan kedua tangannya. Menopangkan ujung hidungnya sambil memikirkan banyak hal yang ingin dikatakannya. Aku bisa melihat itu dengan jelas.
"Bagaimana jika... Ayah dan Ibu nggak menginginkan kita seperti ini?"
"Kamu bicara apa sih, Iris?"
"Aku takut membuat mereka kecewa."
"Tante Ratna yang bilang begitu ke kamu, kan? Iya kan?"
"Kalau mereka masih hidup, mereka akan berpendapat sama seperti Tante Ratna, Mathar."
Aku mencengkram lengan Iris kuat. Emosiku mulai tersulut mendengar pendapat demi pendapat yang aku yakin betul, itu hanyalah cara Tante Ratna untuk memengaruhi pikirannya.
"Iris dengar!" pintaku. "Apa yang hatimu katakan? Apa kamu sungguh-sungguh akan melakukan itu? Mengorbankan perasaanmu sendiri?"
"Ibu memyuruhku datang untuk menyampaikan pesannya kepadamu. Ia tidak memintaku untuk jatuh cinta padamu."
"Ibu sudah mati, Iris! Berhenti mengatakannya seolah-olah ia memaksamu untuk tidak mencintaiku, karena ia tidak berhak! Kalau ia tidak membiarkan Ayah pergi dulu, kita tidak akan bertemu dalam keadaan seperti ini."
Ucapanku barusan membuat air muka Iris berubah seketika. Ia melepas cengkramanku di lengannya.
"Iris..." panggilku, pelan. Aku tahu, ada yang salah dengan kata-kataku.
"Tidak. Kamu betul. Ia tak pernah tahu takdir apa yang kita alami sekarang, karena sudah pergi lebih dulu. Ia bahkan tidak sempat bertanggung jawab dengan keadaan ini."
"Bukan itu maksudku, Iris."
"Kamu benar Mathar. Seharusnya, aku pun tak perlu datang ke sini dan bertemu denganmu."
"Aku tak menyalahkan keadaan kita. Aku siap menerimanya."
Aku berusaha menahan Iris. Namun ia memilih bangkit dari duduknya. Aku bergeming di tempatku sementara Iris memunggungiku dan juga berdiam selama beberapa jenak.
"Aku akan merenungkan tentang kita seharusnya," ucapnya kemudian. Tanpa menoleh ke arahku. Lalu, ia melangkahkan kaki meninggalkan ruangan.
Aku segera beringsut mengejar Iris. Meraih lengannya, memintanya untuk tinggal. Namun, dengan isyarat, ia memohon agar aku membiarkannya pergi. Aku tahu, jika aku memaksa, perasaan di antara kami hanya akan bertambah kacau.
Di muka pintu ia sempat berbalik menoleh. Ia tak mengucapkan apapun. Hanya sepintas murung yang tergambar melalui garis-garis wajahnya.
Dan ia pergi kemudian...
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...