Aroma roti bakar membangunkanku dari lelap. Rasanya, seluruh ruangan sudah dipenuhi aroma dari aktivitas di dapur. Sambil menyibak selimut, kulihat cahaya pagi sudah menembus kisi-kisi jendela. Aku mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, sebelum bangkit dari rebah.
Setelah kesadaran terkumpul sepenuhnya, aku baru mendengar ada suara obrolan dari belakang. Kucermati suara itu baik-baik. Ada suara Iris di antaranya.
"Hey, sudah bangun?" sapa Iris begitu aku muncul di dapur. Ia sedang membantu Kameela mengaduk adonan panekuk.
"Butuh variasi." Kameela memberi tahu. "Kamu suka roti bakar Mama. Aku ingin mencoba yang lainnya. Kebetulan Iris bisa membuat panekuk."
Kedua alisku terangkat. Mengisyaratkan tanya pada Iris. "Aku tidak pernah dibuatkan panekuk," protesku.
"Kamu tidak meminta," sahut Iris.
"Baiklah. Aku akan meminta lain kali."
"Kalian bisa berdebat nanti, setelah kegiatan memasak kita selesai."
"Tidak semua hal yang Mathar sampaikan perlu kamu pikirkan." Iris mengusap-usap punggung Kameela, mengajaknya melanjutkan kesibukan.
Sarapan siap tak berapa lama setelah itu. Aku, Iris, Kameela dan Tante Ratna duduk semeja menyantap kudapan hasil kerja bersama pagi ini. Seperti biasa, roti bakar tetap jadi primadona. Namun panekuk buatan Iris rupanya menjadi saingan yang cukup bergengsi.
Iris dan Kameela lebih dulu meninggalkan meja. Kameela meluyur entah kemana, meninggalkan piring-piring kotor di bak cuci. Sementara Iris pamit untuk mandi. Hanya tinggal Tante Ratna dan aku yang masih duduk untuk menyelesaikan sarapan kami.
"Mathar."
Aku mengangkat wajah, menemukan Tante Ratna yang tengah menatap kaku kepadaku.
"Sudah seberapa jauh hubungan kalian?"
Aku tahu Tante Ratna tidak bodoh. Aku pun jelas tahu maksud pertanyaan yang diajukannya. Namun seperti halnya yang kupikirkan selama ini. Apa yang akan kuberikan jika pertanyaan seperti itu datang? Itu yang tak kutahu.
"Mata kalian nggak bisa bohong. Tante sudah perhatikan dari pertama kali Iris datang ke sini." Tante Ratna meneguk teh pahit dari cangkirnya sedikit.
"Kameela juga tahu, kan?" Tante Ratna melanjutkan kenbali kalimatnya.
"Kameela bilang sesuatu sama Tante?"
"Tidak. Jelas tidak. Tante tahu dia cemburu sama Iris. Kameela itu suka kamu sudah dari lama. Tapi, dia tidak memanfaatkan keadaan ini untuk memberi tahu Tante soal kalian. Pertanyaan Tante murni dari apa yang Tante lihat dari sikap kalian berdua."
Aku menghentikan aktivitas makanku. Segelas air putih cukup untuk membasahi tenggorokanku.
"Tidak ada hal yang perlu dibahasa tentang Iris. Juga tentang aku."
"Perlu. Karena kamu dan Tante sama-sama tahu, bukan begini seharusnya."
"Karena kita sama-sama tahu Tante. Aku nggak mau berdebat. Aku menghindari hal ini."
Tante Ratna ikut menghentikan aktivitas makannya. Ia menyeka tepi bibirnya dengan kain. Dan menatapku dengan tatapan paling serius sejak aku mengenalnya selama ini.
"Tante bicara sebagai orangtua. Sebagai orang yang peduli. Kamu tidak seharusnya melakukan hal semacam ini. Dan sebelum kamu berjalan semakin jauh, sebaiknya kamu putar balik dan kembali."
"Apa yang Tante tahu dan tidak tahu tentang aku?"
"Tante tahu apa yang kamu tidak ketahui. Jadi, dengarkan kata-kata Tante, karena ini penting untukmu dan Iris." Ia berhenti sejenak untuk mengambil nafas sebelum melanjutkan. "Jangan menganggap ia lebih dari seorang adik. Ini tidak benar Mathar."
Aku tak ingin berargumen. Akan sangat percuma jika berargumen. Sedang aku sudah membayangkan percakapan semacam ini akan terjadi nantinya. Jadi, aku memilih pergi.
"Terima kasih untuk sarapannya. Aku dan Iris akan pamit," ujarku, seraya meninggalkan meja makan.
* * *
Keheningan di kabin mobil membuat Iris dipenuhi tanya. Ia jelas tahu ada masalah yang terjadi selepas kami menginap di rumah Tante Ratna. Malah, sudah bisa kupastikan kalau ia menebak-nebak apa yang sesungguhnya terjadi tadi.
"Kamu bisa cerita ini kalau kamu sudah siap," ucapnya, tak memaksa. Dan aku tak menyahutnya sama sekali.
Mobil yang seharusnya berbelok mengantarkan Iris ke rumah indekosnya, malah memutar balik menuju rumahku. Aku tahu Iris akan protes pada pilihanku. Namun ia tetap diam. Duduk tenang di sampingku sampai kami tiba di rumah.
"Na, kamu belanja kebutuhan rumah ya. Ini uangnya," perintahku, begitu bertemu Nana di dapur. Lima lembar uang pecahan seratus ribuan aku berikan kepadanya. Nana cuma melongo mendengar perintahku.
"Sabun, detergen, bumbu, semua masih banyak, Pak," ujar Nana. Jelas, kami tak sedang perlu belanja.
"Buat stok bulan depan." Aku tetap pada pendirianku. "Minta diantar Pak Dadan saja. Nggak usah naik ojek."
Wajah Nana tampak kebingungan. Dan sebelum ia bertanya lagi, aku langsung memberinya perintah tambahan.
"Kamu sama Pak Dadan boleh mampir makan dulu. Pulangnya agak sore nggak apa-apa."
"Baik Pak," jawab Nana, akhirnya meluyur pergi.
Iris meletakkan tasnya di atas meja sofa. Lalu menjatuhkan diri dan bersandar sejenak. Melihatku yang tak kunjung duduk, ia bangkit dan pergi mengambil gelas dan sekotak minuman dingin.
"Minum dulu. Supaya kamu rileks."
Aku meraih gelas yang diangsurkan Iris. Beberapa teguk minuan tersebut cukup menenangkan diriku. Iris duduk persis di sebelahku. Ia menyapukan telapak tangannya di kepalaku. Mengusap perlahan. Membiarkan ketegangan berangsur turun.
"Maafkan sikapku." Aku memintanya.
"Tidak perlu. Buat apa aku menjadi aku jika tidak bisa mengerti keadaanmu."
Aku menempelkan jemariku pada sebelah pipinya. Satu gerakan serupa belaian sebagai bentuk respon terima kasih sekaligus perasaan sayangku kepadanya.
"Beliau bicara padamu tentang kita?"
Aku mengangguk.
"Seharusnya aku memang tidak selalu menuruti kemauannya agar kita datang bersama."
"Seharusnya aku yang bisa bersikap lebih wajar."
"Wajar itu seperti apa? Aku yang salah mengatakannya padamu. Aku baru paham definisi sikap kita saat ini. Perasaan tidak bisa dimanipulasi, Mathar. Harusnya, aku lebih tahu soal itu."
"Kita tahu bahwa perasaan ini akan mengundang reaksi. Kita sudah tahu itu dari awal."
"Maafkan kebodohanku."
Aku menolak permintaan maaf Iris. Aku tak mau mendengar hal itu. Cinta adalah perasaan milik dua orang. Aku ikut berperan di dalamnya. Aku hanya tak mau mendengar argumen apapun lagi tentang kami. Tidak dari Tante Ratna. Tidak dari siapapun nantinya. Bahkan jika Nana atau Pak Dadan sendiri dengan berani mengungkapkannya.
"Sini. Tenanglah di dekapku." Aku menarik tubuh Iris.
"Aku tak mau kita berpisah. Aku tak mau kehilanganmu," bisikku.
Dan jangan berikan aku satu kata apapun.
Tentang hal ini.
Tentang rasa ini.
Tentang apa yang tak mungkin kupungkiri.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...