Cahaya matahari berusaha menerobos masuk ruang kerjaku. Meski sudah dilapisi kaca film dan diberi tirai juga, tetap saja, ketika hari terik begini, semua yang kulakukan untuk menolak cahaya bintang terdekat dari bumi itu terasa sia-sia saja.
Iris duduk di sofa yang terletak di sudut ruangan. Sofa yang sama yang biasa kugunakan untuk meeting dengan beberapa karyawan andalanku. Sofa yang sama yang juga selalu diduduki Kameela atau Tante Ratna ketika duduk di sini. Sofa yang selalu ditiduri Ayah setiap kali ia datang ke sini kala siang hari.
Iris tidak sibuk dengan ponselnya, tidak juga menggunakan penyuara telinga seperti Kameela. Ia tahu, aku bisa memanggil namanya kapan saja. Dan ia tak mau, aku harus memanggilnya hingga beberapa kali, atau malah menghampirinya karena ia tak kunjung mendengar panggilanku. Hanya dalam satu kali sebut saja, ia akan langsung menoleh ke arahku, seraya bertanya.
"Ya Mathar? Ada apa?"
Betapa ia sangat memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Ia menghormati keberadaanku di dekatnya.
Untuk membunuh waktu, ia membuka-buka majalah bisnis koleksiku. Membaca sambil menyesap teh hangat yang Bertha buatkan untuknya. Sementara aku, berkutat dengan layar laptop dan laporan-laporan yang baru kuterima pagi tadi.
"Kamu ingat, pertama kali aku mencarimu?"
Aku mengalihkan pandangan kepada Iris, merespon pertanyaannya. Sebelum aku menjawab, ia sudah melanjutkan lebih dulu.
"Aku bilang kalau aku ingin mewawancarai untuk rubik bisnis. Dan kamu tidak percaya." Ia tersenyum kecil setelahnya. "Sekarang aku tahu. Karena ini semua." Ia menunjukkan koleksi majalah-majalah bisnisku.
"Itu belum termasuk langganan newsletter, TV program, dan yang lainnya," tambahku.
"Ya. Aku memang bodoh. Memberi benang kepada seorang penjahit, dan mengatakan kalau itu adalah sehelai kain."
Aku hanya tertawa kecil mendengar perumpamaan yang Iris sodorkan. Dan kembali pada layar laptopku.
Panggilan interkom masuk beberapa kali. Memecah keheningan ruangan ini, karena aku dan Iris tak mengobrol barang sepatah kata pun, karena sibuk pada dunia masing-masing. Atau lebih tepatnya, aku sibuk dengan dunia kerjaku. Dan Iris harus menyibukkan diri juga agar tidak jenuh.
Baru kali ini, kami berada dalam jarak yang dekat tanpa obrolan. Biasanya, waktu seperti bocor bahkan lenyap tanpa jejak. Kemana jam-jam panjang itu perginya? Itu yang selalu kukeluhkan setiap kali habis bertemu Iris. Seolah, kami ini dua manusia yang hidup dengan satu kepala. Selalu nyambung ketika ngobrol, selalu terkait satu sama lain.
"Iris, kamu bosan?" tanyaku akhirnya. Kekhawatiran yang pantas, karena sebaiknya aku memang tidak membiarkan ia sendirian begitu.
"Cukup bosan. Tapi aku selalu punya cara untuk menyiasatinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...