Belum genap tanda tanyaku tentang takdir, hari sudah harus diakhiri. Kerumuan kendaraan memenuhi badan jalan. Membuatku dan Iris berada di antara. Hendak kemana kah semua penghuni Ibu Kota? Kenapa mereka gemar berbondong-bondong di waktu yang sama? Seolah tak ada lagi sisa masa yang bisa diisi.
Pak Dadan memacu mobil demikian perlahan. Seolah seisi kendaraan adalah ibu-ibu yang sedang hamil tua. Namun ia tak punya pilihan. Kendaraan-kendaraan di depan kami sama lambatnya. Meninggalkan jejak jenaka. Atas nama kesempatan dan peluang, mereka justru tak bisa bercepat-cepat untuk menangkapnya karena kadung sesak dan terdesak-desak.
Aku tahu persis, satu kilo meter di depan, ada persimpangan dan lampu lalu lintas yang menjadi salah satu penyebab antrean memanjang ini. Tepat setelah persimpangan tersebut, ada jalan kecil yang diisi banyak pedagang kaki lima. Penjaja makanan jalanan yang tak pernah kehilangan pesona dari restoran-restoran berkelas.
Kalau perjalanan kami terus begini, paling tidak langit sudah berubah warna dahulu baru bisa tiba di rumah. Aku mengusulkan kepada Iris agar turun dari mobil dan berjalan kaki saja.
"Kamu nggak mau menua di sini, kan?" candaku.
"Nanti Pak Dadan?" tanyanya. Ia selalu seperti itu, tak enak dengan sopirku. Sudah minta diantarkan, giliran macet malah ditinggalkan.
"Setelah lampu merah, parkir di ruko ya Pak. Saya mau makan, Pak Dadan juga makan dulu saja di situ."
"Baik, Pak," sahut Pak Dadan. Sudah terbiasa dengan ritmeku yang bisa berubah mendadak.
Pak Dadan berusaha menepikan mobilku ke tepi agar aku dan Iris bisa langsung melompat ke trotoar. Beberapa kendaraan yang sudah tak sabar di belakang langsung menyalak garang. Klakson mereka bersahut-sahutan, menambah panas suasana jalan.
"Ayo Iris," ajakku, sambil menjulurkan tangan.
Iris menangkap lenganku. Secepatnya ia melompat dari bibir pintu ke atas trotoar. Namun sepatu berhaknya sedikit menyusahkan. Ia nyaris tersungkur ke bibir beton. Beruntung cengkraman tangannya di lenganku tak terlepas.
Dan beruntungnya aku bertindak cekatan. Menahan bobot tubuhnya hingga kakinya tak sempat terantuk ke trotoar. Meski untuk itu, tubuhnya harus limbung dan jatuh sepenuhnya dalam pelukanku.
Beberapa orang melihat kejadian ini. Ada yang mendesis ngeri, ada yang hendak menolong, ada yang mencibir, dan ada yang menggumam iri. Ah, seandainya aku bisa mengalami momen itu. Begitu mungkin pikirnya. Berharap sang lelaki selalu sigap menolong. Menawarkan perlindungan dengan lengannya yang kokoh. Jatuh dalam pelukan meski hal tersebut tidak diniatkan. Namun, bukankah sesuatu yang indah ketika datang tanpa diminta malah meninggalkan rasa yang berlipat ganda?
"Kamu baik-baik saja?" tanyaku, memastikan keselamatan Iris.
"Semuanya baik. Aku baik-baik saja," jawab Iris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...