Sesuai dengan nasihatku, Iris mengenakan kaus polos warna biru pucat, serta celana pendek abu-abu sebatas lutut. Rambutnya diikat kuncir kuda dengan karet berwarna hitam, serta tanpa pulasan wajah sama sekali.
"Sepertinya kamu betul-betul mengikuti saranku," ujarku, dengan kilasan senyum di wajah.
"Jadi, kita akan kemana hari ini?"
"Kujelaskan setelah kita naik taksi."
"Mobilmu?"
"Kutinggal di rumah."
"Baiklah kalau begitu."
Ia mengekoriku yang sudah lebih dulu meninggalkan gang menuju indekosnya. Di luar sana, taksi yang membawaku ke sini, menunggu dengan sabar.
"Kita ke stasiun Jakarta Kota ya Pak." Aku memberi tahu.
Sopir taksi langsung memeriksa aplikasi di ponselnya. Lalu mengantarkan kami ke sebuah stasiun kereta api kecil di Pusat Jakarta.
"Mau beli minum dulu?" tanyaku. Menunjuk sebuah kedai waralaba yang menyediakan aneka kebutuhan sehari-hari.
Iris berhenti sejenak, lalu menggeleng dan menggamit tanganku untuk melanjutkan rencana kami. "Kita temukan saja apa yang kita inginkan dalam perjalanan. Pasti lebih menarik."
Aku mengulas senyum, setuju.
* * *
Perjalanan pertama kami dimulai dari muka stasiun. Kesibukan pagi yang langsung menyambut kedatangan dengan segala hiruk pikuknya. Pedagang-pedagang kaki lima memjamur di luar stasiun, para calon penumpang yang berjejalan masuk ke dalam stasiun, serta angkutan umum yang melipir ke bibir jalan. Seolah, kehidupan dimulai jauh lebih pagi di tempat ini. Atau malah tak pernah tidur?
Aku merogoh saku dan mengambil selembar uang biru. Pergi ke loket untuk membeli tiket kereta yang beroperasi di seputaran Ibukota. Yang sebetulnya lebih berfungsi sebagai tiket masuk ke dalam peron. Karena sejak regulasi kereta api diperketat, kami tak bisa lagi menyelundup seenaknya. Tak seperti dulu ketika aku kecil bersama Ayah.
"Dulu, Ayah sering mengajakku ke sini Iris," ujarku, sambil melangkah melewati keramaian orang-orang. "Biasanya di akhir pekan, atau ketika aku sedang bosan dengan sekolah."
"Sepertinya tempat ini punya kesan tersendiri bagimu."
"Begitulah," jawabku. Iris terus mengekoriku di belakang. Satu baris kursi di ruang tunggu tampak tak begitu ramai. Aku langsung menarik tangan Iris, mengajaknya duduk di sana. Lalu mengeluarkan kotak makan berisi roti bakar buatan Nana.
"Kamu dan Ayah... biasanya ngapain kalau ke sini?"
"Memperhatikan orang-orang?"
Kedua alis Iris terangkat. Ia butuh penjelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...