"Apakah dia Pelangi?" Tante Ratna langsung menyebut identitas itu.
"Ya," jawabku singkat.
Ia menutup kotak plastik bening tersebut. Meraih gelas berisi air dan meneguknya sedikit. Sebelum melanjutkan. "Apa kabarnya ia sekarang?"
"Baik."
"Kamu sudah bertemu dengannya?"
"Sudah."
"Setelah waktu yang sangat panjang, Mathar, akhirnya."
"Ya Tante. Ternyata, takdir selalu memiliki jalannya sendiri."
Di antara percakapan aku dan Tante Ratna. Kameela beberapa kali menoleh ke arah kami bergantian. Hanya ia yang tak tahu apa-apa tentang pembicaraan ini.
"Adik?" Kameela akhirnya meminta dilibatkan dalam obrolan.
"Ya," sahut Tante Ratna. "Sang pelangi," tambahnya, seraya merapikan posisi duduknya menjadi lebih maju. Ia kembali meneguk air putih dan menyeka sudut bibirnya dengan kain.
"Anan, ayahmu, pernah cerita tentang kehidupannya dulu di Sulawesi. Tante tahu sedikit tentang cerita sang pelangi. Putri kecil kesayangan ayahmu.
Katanya, ayahmu hanya sempat melihatnya beberapa kali. Dan ia masih terlalu kecil ketika ditinggalkan bersama ibumu. Sepanjang hidupnya, ayahmu selalu berharap bisa bertemu dengannya kembali. Kamu sangat beruntung telah bertemu dengannya, Mathar."
Tante Ratna menyudahi ceritanya dengan segaris senyum tipis. Ia mengusap-usapkan telapak tangannya pada kotak peralatan jahit tersebut. Lalu mengangkat pandangannya kembali. Ke arahku.
"Adikmu berhasil memberikan sesuatu yang Tante sukai. Ia pasti cerdas seperti kamu." Pujian Tante Ratna itu ditujukan kepada Iris.
Aku hanya mengangguk. Senyum kecil dirasa pantas untuk membalas pujian tersebut.
"Kapan-kapan, ajak ia kemari. Kenalkan ia kepada Tante. Akan lebih lengkap kalau Tante tak hanya mengenal kakaknya, tetapi juga adiknya."
"Ya. Jika ia bersedia," jawabku, tak memberikan janji apapun. Kusuap lagi sepotong fillet ikan ke dalam mulutku. Perayaan ulang tahun ini kembali berlanjut.
Di akhir malam, aku berpamitan pada Tante Ratna. Ia mengantarku sampai muka rumah. Sebelum aku masuk ke mobil, Tante Ratna sempat bertanya kepadaku.
"Apa makanan kesukaan adikmu?" tanyanya.
Kujawab saja, "Ia menyukai apa yang aku sukai."
Dan aku pun meninggalkan kediaman ini.
* * *
Pagi ini langit cerah. Di pemakaman, beberapa ranting patah dan daun kering terserak di rerumputan. Namun makam Ayah tetap bersih dan terawat. Kusapukan kain kasa ke sekujur batu bertuliskan nama Anan. Kapanpun aku datang, sederet ritual tersebut tak akan hilang; bersih-bersih, tabur bunga, dan berdialog.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...