Segalanya seharusnya tampak baik-baik saja. Ini pertemuan pertama Iris dengan Kameela. Mereka tidak saling kenal sebelumnya. Dan ini adalah hari ulang tahunku. Momen bahagia untukku dan orang-orang di sekitarku.
Namun Kameela terduduk kikuk, menemukan kebersamaanku dan Iris dalam kejutan yang dibuatnya. Beberapa kali ia menoleh ke arahku dan Iris bergantian. Membaca interaksi di antara kami. Tanya di mata itu tak bisa dibohongi. Ia menuntut jawaban atas ketidak tahuannya tentang sosok Iris yang tak pernah kuceritakan kepadanya. Sekaligus, menyelipkan rasa khawatir, kalau-kalau Iris akan menyedot perhatianku lebih banyak ketimbang pada dirinya.
Jika ada yang bisa meredam segala tanya dalam kepala, maka Iris lah seorang yang paling mahir melakukannya. "Kamu tidak mau memotongkan kue itu untuk kami?" tanyanya kepadaku, menghargai apa yang Kameela bawa. Sedang perhatianku malah tak tertuju ke sana.
"Oh ya. Ini tiramisu kesukaanmu." Kameela kembali ke dalam lingkaran setelah sejak tadi mengasingkan dirinya sendiri.
Iris dengan isyarat mata mengafirmasi perkataan Kameela. Benarkah? Aku baru tahu kamu suka tiramisu. Ia selipkan senyum geli di sana. Nyatanya, aku suka kopi hitam dan terkadang memesan jenis yang lain tanpa gula. Tiramisu terlalu manis untukku. Begitu yang Iris pikir jika bisa kutebak.
Iris melenggang pergi mengambil piring keramik untuk kami semua. Sementara ia berada di sana, Kameela bangkit dari duduknya dan mendekat kepadaku.
"Aku belum memberimu pelukan selamat ulang tahun, Kekasih."
Aku membuka lenganku sedikit enggan, membiarkan ia melekatkan seluruh tubuhnya kepadaku. Dan sebuah bisikan ucapan ulang tahun sekali lagi.
Ketika ia melepaskan pelukannya, matanya kembali dipenuhi tanya. "Kenapa kamu tak menceritakan soal Sang Pelangi kepadaku?"
"Kamu sudah dengar dari Mama waktu itu."
"Aku ingin mendengar darimu."
Aku tak menjawab. Kubiarkan tanda tanya itu berakhir di sana. Aku tahu siapa Kameela. Ia akan mencari tahu dengan sendirinya. Ia bisa menciptakan skenario sendiri. Jangan heran, kalau lusa ia akan menjadi teman akrab untuk Iris. Namun, satu kejadian terdahulu, aku tak ingin Kameela sampai melakukannya lagi. Aku tahu, ia menaruh hati padaku. Dan bisa saja hal itu menjadi sebab yang tak mengenakkan kelak.
"Kamu belum memotong kuenya juga?" tanya Iris, sekembalinya ia dari dapur. Kameela cepat mengangsurkan pisau kepadaku.
Iris yang cerdas mengamati situasi yang terjadi. Posisi duduk Kameela yang berpindah, dan keheningan tiba-tiba ketika ia kembali. Apa ini juga patut dihitung sebagai hutang cerita?
* * *
Lambaian tangan Iris mengiringi kepergian Kameela yang diantar pulang oleh Pak Dadan. Iris yang meminta sopirku membawa Kameela, meski ia sudah meminta dipesankan taksi saja. Setelah mobil menghilang dari pandangan, Iris berbalik menghadapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...