Di separuh pagi. Tidurku berisi potongan-potongan mimpi yang tak beraturan. Airport. Pantai. Ruang kerja. Kabin mobil. Halaman rumah. Semua yang kuingat dalam empat puluh delapan jam terakhir. Atau mungkin lebih.
Ketika mengangkat tubuh, kepalaku terasa sedikit berat. Tante Ratna benar, berdiam di dalam malam yang dingin bisa mengundang angin masuk ke tubuh. Ingin rasanya kurebah kembali, namun agenda kerja tak mungkin ditinggalkan. Kalau aku absen hari ini, Bertha bisa memberi lebih banyak jadwal lagi untuk esok hari.
Aku mengintip ke luar jendela. Entah pagi yang datang terlalu awal, atau aku yang bangun kesiangan? Karena terang sudah memenuhi sekujur halaman rumah Tante Ratna, dan sejauh pandanganku melihat.
Kemeja yang kukenakan kemarin tersampir di kursi kayu di tepi tempat tidur. Aku meraih dan mengenakannya sambil bercermin merapikan diri. Dari balik pintu, kudengar aktivitas pagi sudah dimulai di rumah ini.
Tante Ratna tengah menata piring dan cangkir di meja makan. Roti bakar yang ia janjikan telah siap. Serta teh yang mengepulkan uap panas. Aroma harum sarapan pagi langsung menyergap penciumanku.
"Kameela masih tidur. Sepertinya dia kecapekan." Tante Ratna memberi tahu sebelum aku bertanya. "Ayo. Mulai saja sarapannya," sambungnya mempersilakan.
Kami duduk di kursi yang berseberangan. Tante Ratna menyesap tehnya lebih dulu sebelum mengambil satu irisan roti dan melumatnya kecil-kecil. Dulu, kudapan ini adalah sajian istimewa yang selalu ia bawakan setiap kali aku bertandang ke rumahnya.
Roti bakar selalu menjadi menu sarapan kesukaanku. Sebabnya sederhana saja, Ayah tak bisa memasak nasi goreng, dan menu instant bukanlah pilihanku. Roti bakar sangat mudah dibuat. Cukup olesi mentega dan selai. Taruh di wajan panas, dan bolak-balik hingga kedua sisinya menjadi kering dan berubah warna. Itu saja sudah menjadi yang terbaik yang sanggup Ayah hidangkan kepadaku.
Kebiasaan sarapan roti bakar tersebut terus berlanjut hingga kami memiliki asisten rumah tangga. Nana berhasil menaikkan satu level kualitas roti buatan Ayah. Hasil olahan tangannya lebih gurih dan tingkat manisnya terasa pas. Namun, begitu bertemu roti bakar buatan Tante Ratna, Nana langsung tersingkirkan.
"Sudah lama juga ya nggak sarapan di sini." Tante Ratna membuka obrolan.
"Terakhir..."
"—dua bulan lalu kalau nggak salah." Tante Ratna lebih ingat rupanya. "Kamu sibuk banget ya belakangan?" tanyanya, melanjutkan percakapan ini.
"Pekerjaan memang nggak pernah habis Tante."
"Persis seperti yang ayahmu keluhkan."
"Beliau selalu bilang begitu?"
Tante Ratna menyesap tehnya lagi. Ia mengosongkan rongga mulutnya sebelum melanjutkan. "Kadang dia cuma butuh teman. Keinginannya kamu lebih sering tinggal di rumah."
Aku tahu itu. Ayah pernah bilang padaku agar pulang lebih awal sesekali. Tak ada salahnya tinggal di rumah lebih lama. Dan itu jugalah sebab aku mengundangnya untuk turut bersamaku ke sesekali. Ada banyak hal yang tak bisa kulewatkan di luar rumah, namun aku juga tak ingin kehilangan waktu bersamanya.
"Dua bulan ini tak pernah ada cerita darimu, Mathar. Tante sempat khawatir."
"Semuanya baik-baik saja Tante."
"Tante tahu. Kamu anak yang mandiri dan kuat. Namun kamu juga harus tahu kalau Tante selalu siap menjadi orangtua buatmu. Ada kalanya kita butuh ruang untuk singgah. Butuh telinga untuk mendengarkan. Butuh rumah untuk kembali."
"Aku pasti hubungi Tante kalau aku butuh teman ngobrol." Aku meyakinkan kekhawatirannya.
Tante Ratna menyuap satu potong kecil roti dan mengunyahnya perlahan. Ia melihat ke arah piringku yang sudah mulai kosong, dan menuangkan lagi beberapa potong roti ke atasnya.
"Mau dibawakan untuk bekal?"
Aku mengangguk mengiyakan. Sebab ia pun tak mau aku menolaknya. Karena menurutnya, bekal ini adalah hal sederhana yang bisa ia hadiahkan kepadaku. Terlalu sederhana untuk seorang anak yang hidup sendirian tanpa kedua orangtuanya.
* * *
Satu pesan lagi telah masuk ke ponselku. Iris yang mengirimnya. Ia memberi tahu kalau telah tiba di kedai kopi langgananku. Kedai yang sama yang pernah kuperkenalkan kepadanya, dan kini telah ia anggap menjadi bagian dari diri kami berdua.
Halaman kedai kopi tersebut masih lengang. Hanya ada sebuah sedan hitam, dan dua sepeda motor. Satu di antaranya kukenali sebagai milik si barista. Saat aku memasuki kedai kopi tersebut, Iris telah menunggu di salah satu meja.
"Sudah kupesankan. Kopinya akan datang sebentar lagi." Iris memberi tahu.
Kuletakkan paper bag yang kubawa di atas meja. Iris memandangiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seperti mesin scan yang merekam setiap titik tanpa terlewat.
"Kamu bergadang semalam?" tanyanya.
Aku menggeleng. Tidak benar-benar bergadang. Aku hanya tidur beberapa jam. Namun percuma saja menghindar. Iris terlalu pandai untuk dibohongi. Atau sekarang, ia sudah menjadi terlalu peka.
"Ini bukan penampilanmu sehari-hari. Aku tahu." Dengar? Seperti yang kukatakan. "Lengan kemejamu kusut bekas digulung. Rambutmu tampak berminyak. Dan aromamu parfummu tidak segar. Tidak mungkin Nana kehabisan pakaian ganti, Mathar."
Aku hanya mengulas senyum kering. Merasa ditelanjangi sekaligus kagum dengan cara ia menganalisa.
"Kamu nggak perlu jawab pertanyaanku tadi. Tapi, kamu nggak boleh menolak permintaanku untuk memperbaiki penampilanmu."
Aku hanya mengangguk tanpa sepotong kata sebagai jawaban. Tak menolak apa yang ia minta. Dan kopi milikku tiba. Bersamaan dengan pandangan mata Iris pada paper bag di atas meja.
"Kamu bawa sarapan?"
"Iya." Aku menjawab pendek.
"Aku nggak perlu pesan croissant kalau begitu."
"Ini saja," jawabku menawarinya.
"Roti bakar?" tanya Iris saat kusodorkan bekal tersebut.
Iris mengulas senyum. Bukan isinya yang ia pandangi. Namun pembungkusnya.
* * *
Mobilku tak berjalan lurus ke arah gerbang tol. Sebaliknya, berbelok ke jalur protokol. Melaju ke timur Jakarta. Ke rumahku.
Iris memaksaku untuk pulang dan berganti pakaian sebelum berangkat ke kantor. "Jangan lupa untuk mandi juga, Mathar." Begitu ia mengingatkan setelah kami meninggalkan kedai kopi tadi.
Bertha sudah mengirimiku pesan lagi, menelepon dengan nada bicaranya yang sopan agar aku tak ketinggalan jadwal A sampai Z. Dan betapa pentingnya agenda-agenda tersebut untuk dilewatkan.
Di sebelahku, Iris sudah mengestimasi segalanya dengan sebaik-baiknya. Pastilah pengalaman bekerja di media telah membuatnya terbiasa mengatur jadwal dan membuat time frame dengan begitu detail.
"Aku yang tulis pesan balasan untuk Bertha, dalam perhitunganku semuanya bisa dikerjakan meski kita telat sedikit."
Aku mempercayakannya saja pada Iris. Jemarinya terampil menekan layar ponselku. Begitu pesan dikirim, Bertha membalasnya tak berapa lama kemudian. Dan ia langsung menyetejuinya.
"Terima kasih," ucapku pada Iris ketika ia mengembalikan ponsel milikku.
"Lain kali, kabari aku," balasnya pendek. Ia tak perlu menuntut lebih jelas hal yang mana yang ingin ia ketahui.
Di pangkuannya, kotak makan rumahan berwarna biru yang terikat karet gelang tengah ia pegangi erat-erat.
Kotak itu milik Tante Ratna.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...