Pernahkah kau menemukan dirimu dalam sebuah perasaan yang tak menentu. Kau terjaga, sedang pikiranmu mengelana entah kemana.
Di balik dinding kaca ruang kerjaku. Aku merasa menderita. Ada gelisah yang tak bisa dijelaskan. Ada gundah yang tak bisa kudeskripsikan.
Sudah keberlalu lalang di dalam kantorku sendiri. Menatap lalu lintas di luar gedung. Mengamati setiap kendaraan yang melintas, dan sekawanan manusia yang merayap seperti semut mencari gula. Sudah juga kumengalihkan perhatianku pada kesibukan pegawaiku di kubikel mereka. Sudah kuminta kopi hitam dan berharap kafein bisa mendongkrak konsentrasiku. Sudah kuberseluncur ke dalam jagat maya. Sudah kumencari berbagai kesibukan.
Namun, serpihan-serpihan diriku bahkan tak bisa kukumpulkan.
Kenapa kah?
Aku menoleh ke arah ponselku berkali-kali. Aku sadar, aku adalah penggila gawai. Namun, tak pernah sedemikian besar keinginanku untuk menengoknya bahkan hampir dalam setiap jenak.
Ketika layar ponselku bersih tanpa notifikasi, aku mengharapkan muncul setidaknya satu jejak pesan, atau pemberitahuan, panggilan, atau apapun yang mampu membuatnya berdering. Aku membutuhkannya.
Sialnya, setelah itu semua terjadi. Aku masih saja merasa hampa.
Aku menghempaskan tubuhku ke atas recliner. Memejamkan mata. Menelusuri setiap sudut ruang ingatan. Mencari tahu.
Tak ada yang tersisa.
Selain tanda tanyaku tentang dia.
Iris.
Aku ingin mendengar suaramu.
* * *
Lebih dari setengah hari. Padahal, Iris berjanji kalau perjalanan ini tak sampai memakan waktu tiga jam lamanya.
Ah, mungkin proses bagasinya sedikit memakan waktu. Aku menghibur diri. Namun cepat kusadari, bandara di luar Jawa tak akan sesibuk Jakarta. Semua dilakukan tak sampai harus melalui kerumitan yang begitu sangat seperti Soekarno-Hatta.
Ah, mungkin jaringan operator ponsel Iris bermasalah. Buktinya, pesan yang kukirimkan pun berstatus tunda. Dan sederet alasan yang aku tahu telah dibuat-buat hanya untuk menghibur diriku.
Dengan sabar, aku meyakinkan diriku untuk menunggu.
Menunggu.
Dan menunggu...
* * *
Ponselku sudah berdering beberapa kali. Jadi, aku menengoknya dengan sedikit bermalas-malasan. Namun terkadang, sesuatu datang setelah harap terlewati. Salah satunya adalah pesan dari Iris.
Tanganku berkeringat saat membuka pesan tersebut. Tiba-tiba saja, seluruh dunia serasa tenggelam. Hanya pesan darinya yang paling penting untukku saat ini. Secepat aku membuka dan membaca pesan tersebut, secepat itu pula jemariku menekan panggilan ke nomor Iris.
"Halo?" sahut Iris.
"Kenapa baru mengabari? Aku khawatir," sergahku.
"Hei. Aku baik-baik saja." Iris meyakinkan. "Tadi handphone-ku trouble," tambahnya.
"Kamu dimana sekarang?"
"Sudah sampai di penginapan. Aku minta orang periksa handphone-ku, dan baru bisa menyala sekarang. Ada apa? Kamu gelisah sekali."
"Aku menunggu kabarmu."
Iris tertawa kecil. "Belum sampai sehari aku pergi."
"Bagiku, rasanya sudah lama sekali."
"Kamu terlalu khawatir."
"Sudah seharusnya aku khawatir, kan?"
Ada jeda sekian jenak ketika percakapan ini terhenti tanpa suara. Aku memanggil Iris, memastikan panggilan telepon ini tidak terputus.
"Aku akan meneleponmu setiap kali aku sempat."
"Sungguh?"
"Ya. Aku berjanji."
"Aku akan menanyakan kabarmu juga."
"Kapan?"
"Setiap saat."
Meski tak bisa melihat wajahnya. Aku tahu, Iris sedang tersenyum di sana. Suaranya melembut seiring percakapan yang berakhir.
"Jaga dirimu di Jakarta. Aku akan pulang segera," pesannya.
Dan aku akan menanti kedatanganmu...
* * *
Iris tak melupakan janjinya. Dalam beberapa hari ke depan, ia selalu memberiku kabar kapanpun ia bisa. Baik dalam perjalanan menuju sumber berita, saat ia duduk menikmati kudapan pisang goreng di warung kopi, saat ia kembali ke penginapan, sebelum tidur, saat baru bangun tidur.
Kapanpun.
Dan tiba-tiba saja, aku merasa itu semua menjadi sebuah keharusan yang mesti kudapati. Jika Iris belum mengubungiku, aku yang menghubunginya lebih dulu. Walau untuk percakapan-percakapan yang tak seberapa penting. Ah, semuanya sudah bergeser saat ini. Kalau dulu kubilang ia adalah lawan bicara yang hebat, partner diskusi yang selalu bisa mengimbangiku. Sekarang ini, kami bahkan mengobrolkan hal remeh seperti; di sini mendung, apakah di Jakarta juga?
Tetapi, aku suka.
Aku sangat suka.
Baru kali ini aku menikmati percakapan basa-basi yang buang-buang waktu. Biasanya, seorang Mathar sangat menghargai waktu. Setiap detik yang terbuang berarti ada hasil yang didapatkan. Semuanya efisien. Meeting dengan klien pun tak pernah sengaja dipanjang-panjangkan. Kalau ingin dirangkum dengan makan siang sekalian, itu adalah bagian dari networking.
Mungkin aku harus segera menulis agenda buang-buang waktuku bersama Iris ke dalam rencana aktivitas harianku. Agar aku tak perlu merasa dicemburui berbagai hal yang biasanya kukerjakan sehari penuh.
Di penghujung hari-hari kami yang terpisah jarak. Kupesankan kalau aku sendiri yang akan menjemputnya di bandara. Iris tak menolak. Sebaliknya, ia memintaku mengenakan kemeja lengan panjang, lengkap dengan celana pantalon yang garis lipatannya tidak rusak.
"Kenapa Iris?" tanyaku, merasa permintaan itu sedikit absurd.
"Karena pakaian itu yang kamu pakai saat pertama kali kita bertemu."
Jelasnya.
Hatiku menghangat.
Ia tak pernah lupa...
...tentang hari itu.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...