DUA PULUH DUA

1K 118 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bersamaan dengan datangnya dua orang Kepala Divisi ke dalam ruanganku, Bertha hadir dengan setumpuk berkas yang sudah dipelajarinya untuk dilaporkan kepadaku. Sekumpulan data-data yang tak mungkin kuanalisa sendiri, dan faktanya Bertha memang lebih mumpuni dalam hal tersebut.

"Pak Luis dan Pak Adi nggak keberatan kalau saya bicara dengan Bertha sebentar? Lima belas menit. Nanti kita ngobrol di sofa pojok saja ya." Aku memberi tahu kedua Kepala Divisi tersebut.

"Kalau gitu saya izin buat kopi dulu, Pak." Salah seorang yang berkaca mata dan betubuh lebih jangkung pamit.

"Silakan Pak Luis," jawabku, mengizinkan.

"Bertha, ayo, waktu kita singkat." Aku menunjuk kursi yang berada persis di hadapan meja kerjaku. Bertha langsung meletakkan berkas-berkas yang dibawanya dan berceloteh cepat seperti mesin rekaman.

Laporan Bertha ditutup dengan pesan pengingat kalau selepas jam makan siang nanti, aku harus menjemput Iris untuk mengantarnya ke stasiun kereta. Ada dua hal penting dari pesan tersebut. Pertama, Bertha sudah tahu kalau Iris bukanlah kandidat pengganti dirinya sebagai sekretaris seperti yang selama ini selalu dikhawatirkannya. Kedua, Iris harus menyusul krunya di Bandung dan bertukar tugas karena rekannya harus pulang segera sebab sang istri melahirkan.

"Sudah siap mulai meetingnya, Pak?" tanyaku pada Luis dan Adi. Dua orang yang usianya masing-masing dua dan enam tahun lebih tua dariku. Namun atas dasar sopan santun, kami satu sama lain, saling memanggil Pak sebagai sapaan.

"Ya Pak. Ini saya buatkan kopi sekalian," jawab Luis, sebelum menyesap kopi hitamnya sekali lagi.

"Terima kasih," jawabku seraya mengangkat cangkir tersebut dan ikut menyesapnya.

"Jadi, sudah ada pilihan untuk teken kontrak, Pak?" Kata-kata yang Adi luncurkan diiringi seringai senyum jelas mengacu pada pembicaraan aku dan Bertha tadi. Ia menguping rupanya.

"Yang sering datang ke sini ya Pak? Cocok kok. Mukanya mirip." Ia menambahkan.

Aku hanya mengulas senyum kecil, tanpa memberi jawaban apapun.

"Pak Mathar umurnya sudah matang. Biar bisa masuk klub kita segera, Pak." Luis ikut menambahkan. Di antara tiga pria dewasa di sofa ini, hanya aku yang masih berstatus lajang. Sedangkan Adi sudah memiliki dua orang anak, dan Luis yang istrinya tengah mengandung anak pertama.

"Kalau sudah yakin, jangan sampai lepas, Pak," canda mereka berdua lagi.

"Oke, jadi apa yang mau kita bahas duluan?" Aku mencoba kembali pada topik pertemuan kami.

"Pak Mathar mengalihkan pembicaraan nih. Kita beneran dukung loh."

Dan mereka berdua tertawa kecil bersamaan dengan ungkapan kebahagiaan yang tulus. Ya, itu semua memang sudah sewajarnya terjadi saat ini. Kabar bahagia itu rupanya sudah dinanti.

Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang