DUA PULUH

985 122 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari menjelang malam ketika aku mengajak Iris pulang. Sayangnya seperti biasa, Tante Ratna selalu berupaya agar aku mau menginap di rumahnya. Terlebih, hari ini Iris ikut serta. Kegiatan menjahit mereka saja baru tuntas menjelang pukul tujuh malam. Kalau aku tidak bolak-balik mengatakan lapar, mereka tidak akan berhenti melakukannya.

"Satu malam saja. Rumah Tante belum pernah ditinggali kamu. Lagian, besok kan minggu. Mau kemana sih hari minggu?"

Iris menimbang-nimbang, sedang aku sudah siap memutuskan tidak.

"Kameela sebentar lagi juga pulang. Dia pasti senang kalau kamu menginap. Katanya kalian sekarang sudah jadi teman akrab ya?" Tante Ratna terus merajuk.

Iris membaca gerak tubuhku yang gelisah. Menyelipkan tangan di saku, mengeluarkannya lagi, menoleh ke luar, melipat lengan di dada, dan berbagai macam gerakan tubuh lainnya.

Ketika ia menoleh ke arahku. Dengan isyarat, kukatakan tidak. Ia mencoba patuh padaku dengan memberi dalih. Namun, lagi-lagi, kekuatan persuasif Tante Ratna tak bisa disangkal sama sekali.

"Jangan banyak mempertimbangkan. Tawaran Tante hanya satu kali. Ayo," ajaknya. Meraih lengan Iris dan memboyongnya ke kamar yang biasa kutempati.

Aku baru akan mengekori Iris sebelum Tante Ratna menghardik halus keberadaanku di muka pintu kamar.

"Kamu tidak berencana tidur satu kamar dengan adikmu, kan?" Matanya menatap serius. "Ayo ambil kasur lipat dan bantal guling buatmu," ajaknya, bernada perintah.

Hanya berselang dua puluh menit sampai Kameela tiba di rumah. Ia pulang dalam keadaan lapar dan hanya menyapa ibunya dengan kecupan formalitas di pipi. Ia tak lupa menyapaku dan tampaknya kelupaan menggunakan panggilan 'kekasih' sementara ada Iris di sini. Ya, dia menghindari kata itu, bahkan juga tidak memanggil nama. Sebisa mungkin hanya ada kata 'kamu', atau tidak ada subjek sama sekali. Jalan pikiran Kameela terkadang memang serumit itu.

Selepas makan malam, Kameela langsung bergabung dengan Iris yang keberadaannya tak dilepas sama sekali oleh Tante Ratna. Mereka mengobrol cukup lama, sementara aku memilih menyendiri di ruang depan bersama ponselku.

Iris muncul kemudian, menghampiriku dan ikut duduk di sofa. Aku yang sedang rebah langsung mengangkat tubuh.

"Kenapa tidak bergabung dengan kami?" tanyanya. Aku tak menjawab.

"Jika kamu menghindar, itu hanya akan menimbulkan tanya."

"Apa kamu baik-baik saja di dalam?" Aku memilih balik bertanya.

"Ya," jawab Iris, pendek. Namun tak sedikit pun aku beranjak dari dudukku, hingga akhirnya Iris kembali ke ruang tengah, bergabung dalam obrolan yang ditinggalkannya.

* * *

Rumah berangsur sepi seiring para penghuninya yang beranjak tidur. Tante Ratna sudah lebih dulu pamit karena kelelahan. Sementara Iris dan Kameela masih bercakap-cakap selama beberapa menit setelahnya.

Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang