"Mama ulang tahun. Apakah kamu nggak ingat?"
Itulah alasan Kameela datang ke kantorku pagi-pagi. Ada urusan yang mesti dikerjakan hari ini, dan sudah barang tentu ia ingin aku terlibat. Ada toko kue yang enak di dekat Pasar Minggu. Langganan Tante Ratna sejak Kameela masih balita. Toko itu masih buka sampai hari ini, dan yang menjaganya sudah masuk generasi ketiga. Kameela ingin aku menemaninya membeli kue ulang tahun di sana.
Jangan tanyakan soal cita rasa, karena Tante Ratna paling juara untuk hal yang satu itu. Lihat bagaimana ia bisa mengalahkan resep roti bakar kawakan, bahkan dari tangan terampil Nana sekalipun. Membuatku teringat nasib Nana yang sama seperti Bertha. Mungkin akan lebih baik jika Nana membuka kedai saja. Terkadang, nasib orang berjalan seperti itu. Pilihan yang lebih baik, malah dilihat oleh orang di sekitarnya.
"Kamu mau menunggu sampai aku selesai?" tanyaku pada Kameela yang tak kunjung duduk. Biasanya, jika ia menyatakan saat ini, aku akan segera melenggang bersamanya ke luar kantor.
Kameela akhirnya mengangguk menyetujui dan pergi ke sudut. Duduk di sofa, sibuk dengan ponsel dan penyuara telinga. Sesaat, ia hilang dari eksistensi dunia. Tak apa, aku merasa sedikit diuntungkan agar bisa mengerjakan pekerjaanku lebih dulu sebelum ia bergegas-gegas untuk mengajakku pergi ke toko kue itu.
Persis di sebelah kanan lenganku yang tengah sibuk menuliskan sejumlah catatan, ponselku bisu tanpa satu panggilan. Aku tak perlu diingatkan. Ada nama yang telah lenyap dari layar sana. Namun jejaknya membekas dalam ingatan. Jika aku memejamkan mata, seakan aku masih melihat panggilan yang sama.
Aku meremas jari jemari sendiri. Bimbang itu datang lagi. Membiarkannya atau meladeninya? Menghubungi balik atau tidak?
Orang-orang di luar sana, pasti tahu rasanya menjadi aku.
* * *
"Jadi, nanti mau buat acara apa?" tanyaku pada Kameela. Menjelang jam makan siang, kami pergi juga meninggalkan kantorku.
"Dinner."
"Di rumah?"
"Iya. Mama sudah belanja banyak sekali tadi pagi. Setiap ulang tahun, Mama nggak pernah mau diajak makan di luar. Kamu tahun lalu ikut juga, kan?"
Ya. Kalau ingatanku tidak salah. Ada malam yang panjang di hari spesial tersebut. Jamuan makan yang sangat lengkap. Seolah, kami bertiga saja tidak cukup untuk dikenyangkan. Begitulah Tante Ratna. Ia justru akan sangat khawatir kalau tidak bisa memberikan yang terbaik. Takut mengecewakan orang-orang di sekitarnya.
"Aku mau beli kado untuk, Mama. Tapi aku bingung. Kamu punya saran?"
Aku terdiam sejenak. Tak punya jawaban untuk diberikan kepada Kameela. Aku bahkan belum pernah memberikan kado kepada Ibu. Tahun-tahun yang kulewati tanpanya, membuatku kehilangan cara jika orang bertanya tentang bagaimana cara menyenangkan seorang ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...