"Membuatmu tampil seperti ini sudah jadi kewajibanku sekarang."
Iris merapikan simpul dasiku, menyapu kemejaku dengan telapak tangannya, dan merapikan anak rambutku yang keluar jalur dari garis sisirannya.
"Ayo, kamu harus sampai kantor dalam tiga puluh menit," tambahnya, sambil memutar tubuhku dan berjalan ke luar kamar.
Alphard hitamku sudah terparkir di luar rumah. Pak Dadan—sopirku, kini yang mengambil alih. Pastilah Iris yang berpesan pada Nana agar memberitahu Pak Dadan. Ia tak ingin aku kelelahan dan kehilangan fokus berkendara.
"Kamu ikut aku dulu. Nanti Pak Dadan antar kamu ke kantor." Aku meminta Iris turut serta. Namun ia menolak.
"Kasihan Pak Dadan. Lagipula, waktunya nggak akan terkejar. Aku sudah pesan taksi."
"Kamu yakin?"
Iris mengangguk. Ia mengantar sampai gerbang rumahku, sampai aku masuk ke dalam mobil. Sengaja kuturunkan kaca mobil, selain sebagai bentuk kesopanan, juga agar kami bisa bertemu tatap.
"Sudah dalam perjalanan." Iris meyakinkan agar aku berangkat saja tanpa harus menungguinya. Ia mengangkat layar ponselnya, menunjukkan aplikasi taksi pesanannya.
"Aku akan menghubungimu setelah sampai kantor nanti."
Iris mengangguk seraya tersenyum. Sebelum kaca mobil terangkat naik. Ia berpesan, "Jangan lupa untuk mengembalikan lunch box tadi, Mathar."
Ia tak perlu diberitahu. Ia sudah tahu. Intuisinya telah bicara pada dirinya sendiri, apa yang terjadi semalam pada diriku. Apa yang telah kulakukan, tanpa kubiarkan ia bertanya lebih dulu.
* * *
Bertha dan buku catatannya. Ada warna kecokelatan di tepian lembar-lembar buku tersebut. Pertanda sudah terlalu sering dibolak-baliknya. Terlalu banyak bergesekan dengan jemarinya.
"Sepuluh menit lagi meeting koordinasi. Setelah itu review proposal, sudah ada di meja Pak. Untuk makan siang, Pak Mathar mau makan di luar atau saya pesankan?"
"Pesankan saja Bertha. Saya ingin istirahat di kantor."
"Baik, Pak."
"Oh ya, jangan ada yang diizinkan masuk ke ruangan saya sampai pukul satu."
"Baik, Pak. Bisa saya atur."
"Pesan makan untuk kamu sekalian. Kamu harus di meja terus sampai saya selesai istirahat."
"Siap, Pak. Siang sampai sore ada ketemu klien ya Pak. Persis sesuai dengan jam yang sudah diatur ulang oleh Bapak. Setiap kali selesai meeting, Pak Mathar punya waktu sepuluh menit untuk baca berkas, atau minum, atau ke toilet. Dengan catatan, pembahasan selesai tepat waktu juga. Jadi, semua beres hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...