SEMBILAN

1.5K 140 5
                                    

Ia adalah Kameela

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia adalah Kameela. Putri semata wayang seorang janda pensiunan tentara bernama Ratna.

Ayah mengenal Tante Ratna sebagai sesama pelanggan kios bunga Chrysant* di bilangan Jakarta Selatan. Kios tersebut sudah lama menjadi langganan perusahaanku. Baik sebagai pemasok bunga untuk kantor, maupun karangan bunga yang dikirimkan untuk perusahaan rekanan.

Di hari ulang tahun Ayah yang kelima puluh, Tante Ratna datang sebagai undangan. Ada percakapan bisnis yang kuyakini terjadi di antara mereka, karena Tante Ratna sempat datang satu atau dua kali ke kantorku kemudian. Katanya, ingin mengelola usaha bersamaku.

Sebagai istri pensiunan, ia berencana menggunakan peninggalan mendiang suaminya sebagai modal bisnis untuk persiapan hari tua. Obrolan itu terjadi dalam pertemuan kami bertiga. Antara aku, Ayah, dan Tante Ratna. Meski kemudian, Tante Ratna lebih memilih menjadikan aku sebagai konsultan ketimbang rekan bisnisnya. Karena bisnis tersebut ia jalankan sendiri dengan dibantu putri semata wayangnya yang kelak ia perkenalkan padaku. Dialah Kameela.

Hubungan Ayah dan Tante Ratna yang akrab kemudian menular kepadaku. Tak ada lagi pembicaraan bisnis ketika kami bertemu, namun lebih seperti hubungan seorang keponakan dengan bibinya sendiri. Kurasa, Ayah memang sudah berfirasat kalau ia akan meninggalkanku suatu hari nanti. Jadi sebelum pergi, ia telah mempersiapkan calon pengganti orangtua untukku.

Sepeninggalan Ayah, status Tante Ratna naik satu tingkat. Ia bukan lagi sekadar teman ayahku, melainkan pengganti ayahku. Dalam beberapa waktu, aku dan Tante Ratna kerap bertemu. Dan di antara pertemuan tersebut, Tante Ratna menyertakan Kameela bersamanya.

Hubungan saling kenal yang bermula dari pertemanan kedua orangtua. Begitulah status aku dan Kameela pada mulanya.

Tak ada akibat tanpa sebab yang menyertainya. Tak ada hal yang terjadi tanpa sebuah mula. Termasuk kedekatanku dengan Kameela. Sebab terjadinya sebuah keakraban, jika bukan salah satu yang meminta, maka yang lainnya yang memulai lebih dulu.

Sebagai putri semata wayang, aku paham kesepian yang kerap menghinggapi Kameela. Tak ada teman curhat di rumah kecuali sang Mama. Teman di kampus hanya sebatas ruang kelas dan tempat nongkrong selepas jam kuliah. Persahabatan di zaman sekarang sendiri seringkali sudah dimanipulasi demi tujuan dan keuntungan tertentu. Kehadiranku tampaknya menjawab kerinduan Kameela itu.

Awalnya, ia hanya sering bertanya tentang waktu luangku di sela-sela jam kerja. Atau kemana aku akan menghabiskan waktu berakhir pekan. Apakah ada teman yang akan pergi bersamaku? Teman untuk menonton film terbaru di bioskop? Atau duduk-duduk di kedai kopi? Atau makan malam bersama?

Kujawab terus terang padanya, bahwa aku adalah sosok mandiri yang tak pernah memikirkan hal tersebut. Aku tak pernah berpikir soal siapa yang menemaniku pergi nonton, atau dengan siapa aku makan malam. Hidupku dipenuhi urusan bisnis dan kedekatanku dengan Ayah. Tak usah takut makan malam dengan siapa selama ada rekan bisnis yang butuh janji bertemu. Selama ada Ayah yang meminta waktuku untuk bersama.

Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang