DUA

4.3K 360 11
                                    

Mencari hujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mencari hujan. Begitu katanya.

Ternyata, ibu tak hanya mewariskan nama tetapi juga makna. Kurasa, dongeng tentang nama kami sudah diceritakannya lebih dulu kepada Iris. Juga nama Ayah tentunya.

"Anan adalah awan, dan Mathar adalah hujan. Aku Iris. Sang pelangi." Begitu cara Iris memperkenalkan diri. Mau tak mau, aku berbalik menyerahkan seluruh perhatianku kepadanya.

"Awan, hujan, pelangi?" Aku bertanya, menyelidik.

"Aku bukan sekadar tahu. Aku paham setiap maknanya." Ia menjawab pendek, penuh percaya diri. Ibarat panglima perang, ia menyimpan sejuta samurai di balik punggungnya.

Pengalaman bisnis bertahun-tahun bersama Ayah membuatku terlatih untuk tidak menunjukkan reaksi apapun. Jangan sekali-kali menunjukkan titik lemah kita, karena lawanmu bisa merobohkanmu kapan saja.

Aku tak kenal siapa Iris sebelumnya. Bisa saja, ia adalah rival dari bidang usaha yang sama. Menyamar untuk mengorek-ngorek harta berharga berupa pengalaman dan rahasia. Lagipula, data apa yang tak bisa dicari sekarang ini. Nama? Asal-usul? Bukankah masa lalu setiap orang sekarang sudah menjadi bagian dari perpustakaan umum yang bisa diakses siapa saja?

"Saya tertarik, ayo kita ngobrol-ngobrol di mobil," ajakku. Iris melenggang patuh. Masuk ke dalam alphard hitamku. Duduk dengan tenang, persis di sebelahku.

"Anda berasal darimana?" Aku kembali membuka obrolan.

"Makassar."

Aku mengangguk.

"Tentu tempat tersebut tak asing bagi Anda, kan?" tembaknya langsung.

"Tak ada yang lebih asing dari masa lalu."

"Maka sebaiknya, jangan lupakan sejarah." Ia menyahut diplomatis, lalu mengangsurkan selembar foto usang yang satu sudutnya hampir rusak karena lipatan.

"Foto ini dititipkan Ibu empat tahun yang lalu, sebelum beliau meninggal."

Aku meraih foto tersebut, menatapnya lamat-lamat. Tak perlu ditanya siapa seseorang di sana. Aku begitu mengenal mereka.

"Pesan Ibu sederhana. Temui Anan, di Jakarta. Ibu punya pesan untuknya. Namun, Ibu khawatir usia Anan tak sepanjang beliau. Jika kenyataan memang begitu, carilah Mathar, putranya. Bawa pesan ini dan bacakan di makamnya. Setidaknya, Anan harus tahu, agar Ibu bisa tenang."

"Anda membawa pesan tersebut?"

Iris mengangguk. Ia merogoh sling bag mungil di bahunya. Menarik selembar amplop yang tak kalah kusutnya dengan foto dalam genggamanku. Mungkin, Iris membawa amplop ini kemanapun sepanjang empat tahun ini.

Di dalam amplop, selembar surat berisikan empat baris yang tak terlalu panjang dan bisa dibaca dalam sekali duduk. Isinya demikian singkat, tetapi begitu jujur dan polos. Aku memasukkan kembali surat tersebut dan hendak mengembalikannya kepada Iris. Namun ia menolak.

"Tidak. Sekarang, surat itu jadi milik Anda. Tugas saya sudah selesai."

Begitu berterus terangnyakah perempuan ini? Aku bertanya dalam hati. Ia datang dengan satu tujuan, dan menyelesaikannya begitu tugas tersebut terpenuhi.

"Sudah berapa lama Anda mencari?"

"Sejak Ibu meninggal."

"Ayah juga meninggal empat tahun yang lalu."

Ia tampak tak terkejut. Merasa sudah meyakini berita itu yang akan didengarnya.

"Apa Ayah pernah bertanya tentang Ibu?"

Aku menggeleng. "Ia tidak pernah bertanya. Ia hanya bercerita. Ia selalu bercerita."

Iris terdiam sejenak. Mungkin menungguku terus berbicara.

"Apa Ibu pernah bercerita tentang Ayah?" Aku balik bertanya padanya.

"Ya. Keseluruhan cerita yang terangkum dalam surat itu." Tatapannya tertuju pada amplop di tanganku. "Anan, dan cinta yang begitu panjang. Jika saya bisa memberinya judul. Mungkin kalimat itu yang paling tepat."

Percakapan kami terhenti seiring kalimat yang dilontarkan Iris. Ada hening yang cukup panjang. Seolah, kami tengah menelisik masa lalu hingga ke titik-titik tersudut yang kami ingat masing-masing. Tentang hidupku bersama Ayah. Sedang ia, mungkin menerawang ke waktu dan kenangan yang sama bersama Ibu.

"Lalu?" Aku kembali membuka suara. Iris menoleh ke arahku. Mempertanyakan arti kata tersebut. Sampai aku memperjelasnya.

"Rencana Anda setelah tugas ini. Kehidupan harus terus berjalan, kan?"

Ia mengedikkan bahu. "Sewaktu saya ke Jakarta. Saya hanya ingin mewujudkan permintaan Ibu. Saya tidak memikirkan rencana yang lain."

"Bagaimana kalau Anda datang langsung ke makam Anan?" Aku bertanya.

"Tapi tidak untuk membacakan surat tersebut. Itu tugas Anda."

Aku memang tidak akan memintanya melakukan itu. Aku akan memenuhi permintaan Ibu. Dan hari itu, adalah titik awal langkah hidup kami yang dulu terputus.

* * *

Setelah pertemuan hari itu. Dibatasi sore yang memanjang, aku membawa Iris ke makam Ayah. Tanpa suara, Iris menatap makam bertuliskan nama Anan di batu nisannya. Hanya ada percakapan di dalam hati yang kuyakini terjalin antara orangtua dan anak di sana. Yang mungkin lebih terlihat seperti orang asing yang datang berkunjung ke rumah seseorang yang tak dikenalinya. Karena biar bagaimanapun juga, ada rentang lebih dari dua puluh tahun bagi Iris untuk tidak bertemu Ayah. Meski begitu, ia terlihat berusaha menautkan kembali hubungan tersebut.

Ia menatapku yang diam menyimpan surat Ibu di saku kemeja. Mempertanyakan tujuan kami ke sini. Kenapa aku tak kunjung membacakan pesan tersebut.

"Saya lebih senang berdialog ketika berada di sini seorang diri."

"Kalau begitu, saya akan memberikan Anda waktu," ucapnya, sambil berlalu menuju mobilku.

Dalam perjalanan aku mengantarkan Iris kemudian. Kami bertukar cerita tentang waktu-waktu yang panjang tersebut. Tentang perjalananku dan Ayah. Juga tentang hidupnya bersama Ibu di pulau sana.

"Apa Anda berencana pulang ke Makassar dalam waktu dekat?"

"Tak ada rencana untuk pulang," jawab Iris pasti.

"Kalau begitu, saya punya kesempatan untuk tahu banyak tentang Ibu."

Iris mengangguk, mengiyakan ucapanku yang serupa permintaan.

"Juga tentang Anda."

"Kenapa saya?" tanyanya spontan. Aku tak tahu, apakah reaksi tersebut sewajarnya atau tidak. Bukankah, sebab kami bertalian darah, maka tak salah jika aku ingin mendengar lebih banyak?

"Karena setelah Ayah dan Ibu meninggal. Hanya Anda satu-satunya saudara yang saya kenal. Anda malah, saudara kandung saya, bukan? Jika memang tujuan Anda benar begitu."

"Kita tidak bicara kebohongan."

"Saya juga mengajukan kebenaran."

"Lalu?"

Aku berdeham. Jika orang awam mendengar apa yang kami bicarakan, aku bertaruh, kalimat-kalimat ini, hanya kami yang bisa pahami maknanya.

"Silakan bertemu saya lagi lain waktu. Di momen yang lebih santai. Agar kita bisa mengobrol lebih banyak."

Ia tersenyum tipis. "Saya senang berbagi dengan keluarga."

"Seharusnya memang begitu."

Ya, seharusnya... Terkecuali, jika ada hal lain dalam berbagi yang kemudian muncul di antaranya.

Dalam cara apapun ia bermula, dengan alasan apapun juga.

* * *

Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang