TIGA

3.5K 312 12
                                    

Sebuah pertemuan. Kurasa, itu tak berlebihan. Dan Iris juga tak menolak.

Hari terlampau pendek untuk sekadar berkelana di tengah Jakarta. Namun aku sedang tidak ada pekerjaan apa-apa, dan enggan menunggu sore dengan cara begini saja.

Aku memberi tahu Iris bahwa mobilku sedang menuju alamat tempat kerja yang ia berikan. Iris hanya perlu duduk manis di ruang kerjanya sambil menunggu aku datang.

"Yakin tidak mengganggu jam kerja?" tanyaku.

"Saya sudah selesai dari pukul sebelas tadi." Ia memberi tahu.

Dan di sinilah aku berada. Duduk di jok belakang mobilku. Menunggu Iris turun dari lantai enam belas gedung sebuah media yang menjulang.

Iris mengetuk kaca mobil perlahan. Lalu melambaikan tangan ketika aku menoleh ke arahnya. Aku tahu, ia selalu berusaha menjadi santun dengan lawan bicaranya.

Pintu mobil terbuka, dan ia masuk ke dalam dengan seringai senyum yang ramah namun tidak rendah diri. Aku menyadari, ia bukanlah pribadi yang angkuh atau terlalu percaya diri. Pengalaman kerja di media selama bertahun-tahun yang telah membuatnya tampil seperti itu. Menjadi pribadi yang siap berhadapan dengan berbagai macam orang dari berbagai kalangan.

"Lama menunggu?" tanyanya, lebih dulu membuka obrolan.

"Hampir sepuluh menit. Terhitung sejak mobil ini berhenti parkir," jawabku, mengestimasi dari arloji di pergelangan tangan.

"Anda orangnya perfeksionis dan terorganisir ya sepertinya. Kalkulasinya tepat sekali." Ia menyahut, dengan nada gurau.

"Anda menghitung juga?" Aku balik bertanya. Menangkap matanya yang ikut melirik arlojiku tadi, dan menoleh ke arah arlojinya sendiri kemudian.

"Saya sudah terbiasa dengan durasi."

Aku tertawa kecil. "Media, waktu, dan profit."

"Khusus yang ketiga, sebaiknya tidak usah disebutkan. Yang utama buat seorang profesional adalah komitmen dan konsistensi."

"Saya terkesan."

Ia berdeham kecil. "Kita tidak sedang dalam percakapan bisnis, kan?"

Kalimat itu membuat kami menyeringaikan senyum bersamaan. Aku sudah terkesan sejak pertama kali bertemu dengannya. Dan hari ini, aku semakin terkesan. Sepertinya, aku punya lawan bicara yang seimbang sekarang.

"Mau kemana kita?" tanyanya.

"Makan siang. Belum kan?"

"Belum." Ia menjawab singkat. "Bukan habit yang baik ya?"

"Bisa dinilai baik atau buruk setelah menimbulkan efek," responku.

"Dan itu butuh waktu?"

"Seperti perokok, efek sesungguhnya baru terasa setelah beberapa tahun."

Ia mengangguk pelan beberapa kali, menyetujui. Nah, apa kataku. Ia lawan bicara yang seimbang. Kalimat-kalimat retoris yang seolah menjadi bahan diskusi menyenangkan. Padahal, bagi beberapa orang, percakapan teoritis seperti itu tak perlu lagi didebatkan. Hidup cukuplah untuk dinikmati, tak perlu segalanya dilalui lewat diskusi.

"Senang makanan apa?" tanyaku.

"Japanese food. Anda?

"Indonesia. Semacam gado-gado, soto, sayur asem. Seperti itulah," sebutku, sudah membayangkan aroma dan rasanya dalam kepala.

"Untuk seseorang yang besar di kota metropolitan, cita rasa Anda tetap tradisional ya?"

"Apa yang lebih baik selain warisan nenek moyang?" Aku mendebat pendapatnya.

"Filosofi?" Ia membalas.

"Saya apa adanya."

"Kalau begitu, cara berpikir Anda mengagumkan." Ia menutup dengan pujian. Dan pada akhirnya, aku memilih mengikuti seleranya.

Di sebuah tempat bernama Enmaru di kawasan Thamrin, aku dan Iris duduk berhadapan dengan menu-menu dalam piring saji yang tak hanya cantik dan menggugah selera, namun juga padu dengan suasana desain interior restoran ini.

Iris melahap satu demi satu makanan di hadapannya. Ia menggunakan sumpit dan mengapit setiap potongan dengan cara yang indah. Kenapa kukatakan demikian, karena tak ada cara makan yang lebih elegan yang pernah kutemui selain yang kulihat pada Iris siang ini.

Sesekali, ia menyelipkan anak rambutnya ke balik telinga. Membalas obrolanku dengan anggukan halus. Menyelesaikan kudapan di mulutnya dalam beberapa kunyahan kecil. Lalu menyesap teh oolong-nya perlahan.

Ia tersenyum sesekali ketika topik yang kubicarakan menurutnya lucu. Atau mengangguk jika menyetujui apa yang kukatakan. Ponselnya ditepikan di sisi meja. Ia malah menyelipkan ke dalam shopper bag-nya. Agar tidak menganggu obrolan kami sepertinya.

Tiba-tiba saja aku tersadar, telah memerhatikannya demikian detail. Geraknya, penampilannya, caranya bicara dan memperlakukan teman mengobrol. Sesuatu yang jarang sekali kulakukan tanpa tujuan. Yang kebanyakan untuk membaca calon rekan bisnis. Namun meski tanpa intensional, aku sangat menyukainya. Entah kenapa.

"Weekend ini mau kemana?" tanyaku tiba-tiba. Lompat dari topik obrolan soal bursa calon gubernur Ibu Kota.

"Ada reportase pagi, live, tidak di studio."

"Dimana?"

"Senayan. Ada event gaya hidup sehat. Stasiun TV saya jadi media partner."

"Siang?"

"Kosong."

"Saya ke Senayan kalau begitu." Sambutku tanpa pertimbangan. Iris mengangkat wajahnya. Bukan persetujuan yang ada di sana, melainkan sedikit tanya.

"Ada yang mau saya bagi. Tentang Ayah."

Iris meletakkan alat makannya. Menyeka tepi bibirnya. Dan menatap lebih serius ke arahku. Ia tak bertanya, meski aku tahu ada sejuta kata tanya perihal keluarga yang lebih pantas disebut sejarah bagi kami berdua.

Dan kurasa, karena itulah, ia mengiyakan saja. Kemudian melanjutkan makan siangnya, dalam hening selama sekian jenak.

* * *

Malam itu, selepas mengantar Iris. Dalam keheningan kamar yang hanya diisi suara detak jam dinding. Lamunanku terbang pada bayang-bayang masa lalu. Pada sederet cerita yang telah dituturkan Ayah dalam obrolan-obrolan singkat kami.

Ayah tak selalu berterus terang dengan gamblang. Namun ia menyelipkan dongeng-dongeng tentang keluarga sejak aku kecil. Barulah, begitu aku cukup dewasa untuk menerima segala hal tentang hidup. Ayah bercerita dengan apa adanya.

Sang pelangi.

Tiga atau empat kali setidaknya, aku mengingat nama itu didendangkan ketika kecil. Sekali ketika Ibu menggendong Iris di lengan kanan, sementara tangan kirinya mengusap rambutku yang sedang rebah di atas pangkuannya. Sedang beberapa di antaranya diceritakan oleh Ayah. Sang pelangi sebagai seorang bayi mungil yang ditinggalkannya karena pilihan hidup. Agar Ibu lebih bahagia. Agar sang pelangi tetap bisa tumbuh hingga dewasa. Agar kedua mertuanya senang. Ironis memang, takdir hidup seseorang dipilihkan oleh manusia lainnya.

Tak perlu dipermasalahkan, karena setidaknya azas adil menurut kedua mertua Ayah sudah diberikan sebagai syarat perpisahan. Ayah diperbolehkan membawaku, sementara Iris yang masih terlalu kecil tak diizinkan untuk berlayar ke Ibu Kota, karena khawatir seorang lelaki tak sanggup mengurus bayi.

Namun, jika saja mereka tahu derita yang ditimbulkan akibat perpisahan, hanya menyisakan luka pada dua orang yang saling mencinta.

"Suatu hari nanti, Mathar. Jika kau bertemu sang pelangi. Kau harus memberitahunya bahwa aku sungguhlah merindukannya sebagai seorang ayah. Aku sangat mencintainya," sebut Ayah kepadaku.

"Kapan sang pelangi akan datang Ayah?" tanyaku dengan polos, sebagai remaja kala itu.

"Suatu hari nanti. Aku yakin, Ibumu akan mengutus sang pelangi datang mencarimu."

Mencariku. Bukan mencari Ayah. Dan benar saya. Karena jauh sebelum Iris datang, Ayah sudah lebih dulu berpulang. Tanpa pernah sanggup menyampaikan rasa rindunya sendiri kepada sang pelangi.

* * *

Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang