Kapan ada waktu senggang? Di sela-sela jam kantor, atau office hours mungkin? Secangkir kopi dan obrolan menarik must be perfect.
Dengan sebaris kalimat itu. Dan pertemuan pun terjadwal. Aku dan dia, duduk berhadapan dibatasi meja dan dua cangkir kopi yang lama kelamaan hanya meninggalkan kerak di setengah badannya. Tahu itu artinya apa? Waktu tenggelam tanpa mengenal batas.
Sudah kuakui sejak awal pertemuan, bahwa Iris adalah lawan bicara yang hebat. Yang tak hanya mampu mengimbangi percakapan, namun juga menyodorkan ragam topik yang membuat setiap kalimat tak akan menemui titik sebagai perhentiannya.
Satu, dua, hingga empat jam berlalu. Di penghujung malam, aku tak akan lagi menawarkan tumpangan pulang padanya. Sebaliknya, ini jadi kewajibanku sebagai lelaki untuk menjaga seorang perempuan dan memastikan keamanannya.
"Aku bisa naik taksi. Nanti kamu kecapekan," tolak Iris halus. Namun bagiku, tak ada negosiasi.
"Lelahku akan sebanding dengan keamananmu."
Ia tahu, aku tak suka didebat. Jadi ia menurut saja. Patuh pada perintahku untuk masuk ke dalam mobil. Kabin yang hening bukanlah pilihan yang tepat. Lagu lawas milik Iwan Fals kuputar melalui perangkat audio.
Iris mengendurkan sabuk keselamatan dan menarik tuas untuk merebahkan sandaran duduknya. Ia bergumam sedikit. Yang kutahu kemudian sebagau senandungnya mengikuti lagu yang kuputar.
"Bukan karena Ibu, kan?" tanyaku, menyelidik. Jangan-jangan, Ibu selalu benostalgia tentang Ayah.
"Kamu sudah tahu pastinya."
"Jadi betul ya?"
Iris mengangguk. Sedang aku tertawa. Tertawa sedih. Begitu dalamnya cinta dua anak manusia. Hingga mesti sudah berpisah puluhan tahun lamanya, kesukaan mereka satu sama lain bahkan tak berbeda.
"Sekarang, mereka sedang bernyanyi bersama di Surga." Aku benar-benar membayangkannya kali ini.
"Kalau memang demikian yang kamu yakinkan, aku mengamini." Iris melengkapi.
* * *
Di ujung sebuah gang aku menghentikan laju kendaraan. Moncong mobil berhenti sebelum tepat menyentuh tiang beton yang menyangga untaian-untaian kabel penyalur listrik. Iris melepas sabuk keselamatan dan mengalungkan pegangan tas di lengan kirinya.
"Apa masih jauh?" tanyaku.
"Gedung yang itu." Iris menunjuk sebuah bangunan tiga lantai dengan jendela-jendela yang berbaris rapi di sekeliling dindingnya. Kelihatan nyaman untuk dijadikan indekos putri.
"Aku antar kamu sampai depan." Aku menawarkan bantuan. Cepat Iris melarangku karena menurutnya, sang pemilik kos menerapkan aturan yang ketat untuk seluruh penghuninya. Dan Iris tak ingin jadi salah satu yang melanggar.
"Kalau kamu bosan atau butuh teman ngobrol, kamu bisa datang ke rumahku." Lagi-lagi, aku menawarkannya sebuah kebaikan.
"Pasti aku kabari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...