Bagaimana jika hari ini hujan turun? Apakah itu artinya, rindu telah sampai kepadamu.
Tepat setelah menjejakkan kaki di tanah yang tampak begitu asing. Aku menengadahkan kepala untuk menatap sejenak ke langit. Mencari tahu, apa yang akan Ia katakan kepadaku hari ini.
Hanya pesan yang begitu singkat yang kukatakan kepadanya. Aku akan datang ke tempatmu. Tanpa permintaan lainnya sebagai pelengkap. Tanpa syarat apapun. Dan pertemuan pun terjadi, dengan rasa ganjil yang perlahan pudar.
"Kita bertukar peran hari ini," ujarnya sebagai pembuka.
"Apa kita bisa memulainya sekarang?"
Iris hanya menjawab dengan anggukan. Lalu kami berjalan beriringan menuju taksi yang sudah dipesan olehnya.
Perjalanan yang cukup panjang, dan hening yang sama sekali bukan tipikal kebersamaan kami. Bedanya, kali ini aku tak akan memaksa mengubah keadaan.
"Kamu yakin nggak mau menginap satu malam saja?" tanya Iris di antara jeda hening yang panjang.
"Aku sudah pesan tiket untuk nanti sore."
Dan keheningan pun kembali menjebak.
* * *
Lingkungan pemakaman ini tampak sedikit gersang. Hanya pohon kamboja yang ditanam dalam jarak berjauhan dan rumput-rumput mengering serta tanah yang retak-retak. Iris mengenakan sehelai kain yang diselubungkan di kepalanya. Ia berpayung dan berkaca mata hitam, sedang aku datang dengan tampilan apa adanya.
Iris mengulas senyum dari balik punggungku dan meyakinkan kalau ia memberi waktu selama yang aku mau. Nisan batu yang gelap dengan ukiran bercetak sebuah nama. Aku perlu menenangkan diriku dahulu, sebelum mulai berdialog dalam hati.
Dengan Ibu. Untuk pertama kalinya.
Kurasakan kembali kali pertama aku mengajak Iris menemui Ayah. Kurasakan perasaan asing yang sama, karena tahun-tahun yang panjang setelah perpisahan dahulu. Kurasakan waktu yang sama seolah-olah berulang. Dan ketika aku bangkit seraya menjatuhkan pandanganku kepadanya. Ia tetap berada di sana. Menunggu dengan setia.
* * *
Di satu tempat yang tak kukenali namanya. Aku dan Iris duduk berhadap-hadapan. Ini bukan cara kami mengulang perkenalan yang terjadi beberapa bulan lalu. Sebaliknya, boleh dibilang ini adalah cari memutuskan akan bagaimana perkenalan kami dahulu.
Kuangsurkan selembar foto yang jadi awal mula pertemuan kami. Iris tak mau langsung menerimanya. Namun isyarat mataku bisa ia pahami. Aku tak ingin didebat. Aku tak suka ditolak.
"Simpanlah," pintaku. "Dulu kamu datang membawanya kepadaku. Aku tidak mengembalikannya kepadamu hari ini. Tapi aku membawakannya untukmu."
Iris menarik foto itu sedikit ragu. Dan terus memeganginya sepanjang kami duduk bersama.
"Segala sesuatu, perlu ditentukan bagaimana akhirnya." Aku melanjutkan.
"Kamu sudah paham keputusanku?"
Aku menatapnya lekat. Ia tahu apa maksudku.
"Aku mencintaimu."
"Aku tahu."
"Aku sangat mencintaimu."
"Aku tak ragu."
"Tapi... ini tak akan pernah bisa berlangsung. Terlebih untuk selamanya. Aku mau berharap, aku ingin sekali punya harapan untuk itu."
"Aku menanyakan hal yang sama pada diriku sendiri."
"Sebab ini bukan benar atau salah. Tetapi menerima dan merelakan."
Iris mengangguk menyetujui. Bola matanya basah. Ia berusaha membendung air mata yang memenuhi sudut-sudut matanya.
"Ayah menuliskan sesuatu."
"Apa Mathar?"
Aku mengeluarkan puisi yang ditulis Ayah. Mendorong kertas itu ke hadapan Iris. Dan menunjuk satu bait yang kini telah kuhapal mati apa isinya.
Iris menarik napas dalam-dalam. Dan pertahanannya tak lagi bisa ia bendung. Segaris air mata jatuh. Dan segera, aku meletakkan ibu jariku untuk menghapusnya. Karena mungkin, ini akan terjadi untuk yang terakhir kalinya.
"Keinginanku sudah selesai," ujarku, melanjutkan. "Aku akan pergi sekarang," pamitku, seraya bangkit dari duduk dan menutup pertemuan ini.
"Aku akan mengantarmu."
"Tidak," tolakku, halus.
"Kenapa?"
"Jangan biarkan aku melihat langkahmu menjauh. Bukan aku tak mau, tapi hanya tak ingin melihatmu pergi lagi," tutupku.
Kujatuhkan satu peluk terakhir. Kuhirup dalam-dalam setiap aroma yang mungkin kelak akan mulai terlupa seiring waktu. Kutatap lekat wajahnya, sebab setelah ini, tak ada lagi cerita yang bisa kami isi.
Dalam langkahku, kurapal setiap kata yang Ayah tulis.
Kau pun tak perlu menangis dan mencari.
Sebab kita telah mengamini.
Cinta ini... sekalipun tak memiliki.
Akan tetap berada di satu tempat yang tak terganti.
Di hatimu saja.
Di hatiku selalu.
[ T A M A T ]
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...