DUA PULUH TUJUH

1.2K 133 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukan biru, bukan juga kelabu.

Tak pernah aku merasa tak yakin dengan warna langit yang kutatap. Hujan tetap enggan turun. Pun terik yang seolah tak mau tampak sepenuhnya. Bagaimana kabarmu saat ini? Apakah meragu seperti langit yang tengah kulihat?

Di pagi yang terlalu dini, Kameela minta izin pada Bertha untuk bisa bertemu denganku. Bertha mengontak lewat interkom. Meski aku sedang tak punya janji temu, tetapi tindakanku yang mengurung diri di ruang kerja selama beberapa hari belakangan seolah telah mengafirmasi banyak orang kalau aku tak mau diganggu. Hanya minus label 'awas anjing galak' saja di muka pintu. Jika itu tersemat di sana, lengkap sudah gambaran sosok Mathar yang baru.

"Persilakan masuk, Bertha." Aku memberi tahu. Dan Kameela muncul berbalut jeans panjang dan kaus oranye yang segar.

"Apa kabarmu Kekasih?" sapanya, ceria seperti biasa.

"Kamu datang pagi sekali?"

"Aku akan pergi ke perpustakaan nasional hari ini," jawab Kameela seraya melangkah ke meja kerjaku. "Beberapa hari lalu aku ditawari menjadi tutor untuk program persiapan Summer Course di Belanda. Mereka ingin referensi dulu. Jadi, kupikir hari ini harus dimulai lebih pagi dari biasanya."

"Menarik."

"Akan lebih menarik kalau aku jadi pembimbing langsung di sana ya?"

"Kamu mau merantau lagi?"

"Kenapa nggak?"

Kameela meletakkan tote bag-nya di atas meja. Ia melepas ikatan rambutnya, merapikan dan mengemasnya kembali hingga ringkas.

"Aku harus memberitahumu kalau Iris pamit padaku kemarin."

"Ia sudah kembali ke Makasar."

"Ia betul-betul melakukannya?"

"Kamu pikir Iris tipe orang yang suka membual?"

Kameela mengedikkan bahu. Ia menarik kursi dan duduk dengan kaki berselonjor. Tangannya iseng, mencari benda apapun untuk dimainkan. Sesuatu yang sebetulnya juga menjadi signature Kameela ketika mengobrol.

"Sebetulnya, ia tak ingin pulang." Kameela tiba-tiba melontarkan kalimat itu. Membuat aku merapatkan duduk ke meja. Menyerahkan seluruh perhatianku pada apa yang akan dikatakannya kemudian.

"Ia sudah membuat keputusan." Yang aku tahu begitu. Bukankah ada tindakanku yang mencoba meyakinkan dirinya berkali-kali? Kalau-kalau ia ragu. Kalau-kalau aku mampu merayunya untuk tetap tinggal.

"Sejak ia bertemu denganmu, tujuan hidupnya sudah tercapai. Tak ada alasan untuknya pulang ke kampung halaman." Kameela melanjutkan kalimatnya yang terpotong.

"Kenyataannya ia memilih itu."

"Tak ada pencarian lagi. Buat apa? Hidup kita kan selalu untuk mencari, Kekasih. Mencari rezeki, kenyamanan, hati, pasangan. Sejak ia sadar telah mencintaimu, ia tahu perasaannya sudah sampai di titik tujuan."

Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang