Tidak lagi pagi menggantikan malam. Tidak lagi pelangi setelah hujan. Tidak lagi kita di antara detik-detik kebersamaan.
Ada sesuatu yang asing setelah malam itu. Namun bagaimana pun juga, aku harus tetap menghadapinya. Ini adalah bentuk konsekuensi dari keputusanku sendiri. Setelah hari-hari yang panjang dengan keberadaan Iris di sampingku. Kini, aku hanya mendapati kesendirian yang telah kupilih.
Layar ponsel yang tak lagi menampilkan notifikasi darinya. Aku yang mesti menoleh beberapa kali ke jok di sebelahku sedang aku tahu Iris tak lagi duduk di sana. Kedai kopi tempat kami biasa duduk-duduk berdua yang tak lagi dikunjunginya.
"Mbak Iris nggak ikut, Mas?" tanya barista yang sudah mengenal Iris—dan belakangan hafal kalau kehadirannya selalu turut menyertaiku.
Aku hanya membalas dengan senyum dan ia tak lagi menanyakan Iris kepadaku. Sampai aku berbalik menuju meja favoritku. Dan berhenti di antara langkahku yang belum sampai. Aku membalikkan tubuh dan bertanya, apakah Iris pernah datang ke sini lagi?
Pertanyaan yang hanya kuucapkan dalam hatiku.
* * *
Untuk lari sejenak dari kenyataan, setiap orang memiliki caranya sendiri-sendiri. Ada yang memilih mendekam di dalam kamar selama berhari-hari. Ada yang pergi mencari bar, dan meneguk minuman beralkohol. Ada yang mencari teman curhat. Ada yang memanjatkan doa. Ada juga yang memilih melakukan travelling atau makan sebanyak-banyaknya. Dan masih ada seratus cara lainnya baik itu baik untuk dilakukan maupun buruk.
Bagiku, cara pertama adalah dengan menyendiri di makam Ayah. Berdialog dengannya. Bercerita tentang apa yang kualami, apa yang kurasa, apa yang kupikirkan. Cara kedua adalah menepi dalam keheningan malam. Mencari satu sudut kafe yang buka dua puluh empat jam. Ditemani secangkir kopi, atau sebotol bir dingin, atau apapun yang ingin kuteguk malam itu. Memilih sudut yang tak banyak disukai orang. Atau jika tempat tersebut terbuka, aku akan memilih sisi paling luar. Agar aku bisa melihat pemandangan dengan lebih luas.
Malam ini, aku memilih yang kedua.
Selepas jam kantor. Aku memutar laju mobilku menuju pusat Jakarta. Ada beberapa tempat yang buka dua puluh empat jam di sana. Pilihanku adalah sebuah kafe di kawasan Cikini.
Di atas meja, secangkir minuman dingin serta sekotak rokok tergeletak. Ponselku telah padam. Sengaja kumatikan karena tak ingin ada gangguan, sekecil apapun itu.
Aku hanya sesekali mengisap tembakau. Merokok bukanlah kebiasaanku. Namun aku butuh pengalihan. Dan aktivitas seperti ini terkadang bisa cukup membantu.
Nyala oranye di ujung rokok menjadi satu-satunya hal yang ingin kutekuri. Warna tersebut mengingatkanku pada langit senja yang kulewati bersama Iris beberapa waktu lalu. Atau tepatnya, malam dimana semua rasa telah luruh. Berganti menjadi sebatas naluri yang ingin dipenuhi.
Aku tak ingin tenggelam dalam kenangan. Akan tetapi, hanya bayangan tentang kebersamaan yang indah itu yang bisa menghangatkan hatiku. Saat-saat yang tak pernah ingin kita tinggalkan di belakang. Dimana aku ingin waktu berhenti sesaat. Dan membiarkan diriku merasakan arti bahagia walau hal itu terasa semu adanya.
Lewat dari tengah malam, hujan turun sebatas rintik. Cahaya lampu jalan menangkap serbuk-serbuk hujan. Indah. Tenang. Meneduhkan. Aku menyukainya. Namun satu yang tak kusukai. Tak ada dia di sebelahku untuk menikmati keindahan tersebut.
* * *
Mulutku bau tembakau dan ampas kopi. Pakaianku belum berganti. Aroma hujan semalam masih melekat di jalan. Mobilku melaju ke sebuah gedung milik stasiun televisi swasta. Jam masuk kantor belum dimulai. Mereka yang berstatus karyawan satu-persatu melintas memasuki lobi gedung. Mobilku terparkir dalam jarak yang cukup untuk melihat ke arah lobi tersebut. Dari sini, aku bisa menyaksikan siapa-siapa saja yang datang. Mulai dari yang hadir terlalu pagi, hingga yang setengah berlari mengejar kedatangan karena terlambat tiba.
Hanya satu orang yang akan kuamati baik-baik. Ia yang selalu hadir tepat waktu dan kerap mengingatkanku tentang betapa pentingnya memiliki integritas.
"Datang jauh sebelum jam siaran dimulai adalah integritas, Mathar. Kehadiranmu di kantor pun sama. Mereka yang hadir bahkan sebelum tepat waktu adalah orang-orang yang tahu cara menghargai dirinya sendiri." Begitu pesan Iris dalam ingatanku.
Detik dan menit, menit dan jam. Sosok perempuan itu mengenakan kemeja putih sederhana dan celana pantalon serta sepatu hak tinggi yang membuat kakinya terlihat semakin jenjang. Langkahnya tak pernah tergesa namun tak juga lambat. Ia menganggukkan kepalanya ramah pada beberapa orang yang berserobok pandang dengannya.
Tak kulewatkan barang sedetik pun untuk mengekori gerak langkahnya. Ia sempat berhenti di muka lobi dan membalikkan tubuhnya, mengedarkan pandangan ke sekeliling seperti tengah mencari sesuatu. Matanya mungkin saja menangkap kehadiran mobilku. Namun itu tak terjadi. Bahunya terangkat seperti menarik nafas panjang. Lalu ia melanjutkan langkahnya, memasuki gedung tersebut.
Ia terlihat baik-baik saja. Ia bahkan tidak terlihat kacau sama sekali. Ia masih sama seperti Iris yang kulihat beberapa hari lalu, satu-dua minggu lalu, atau sebulan yang lalu. Tak ada pias seperti yang kutemui malam terakhir kami kala itu. Apakah ia tak memikirkannya lagi? Atau ia lebih cepat pulih? Atau ia bangkit dari perasaan yang dalam itu?
Menemukan apa yang kulihat membuat kepingan-kepingan realita hidupku terkumpulkan kembali. Ada hidup yang mesti ditapaki. Ada langkah yang tak bisa berhenti sampai di sini. Setidaknya, aku merasa tenang melihat keadaan Iris seperti itu.
"Ia baik-baik saja Mathar. Sekarang waktunya kamu melanjutkan hidupmu kembali," ucapku pada diri sendiri.
* * *
Mungkin waktunya melupakan sudah tiba.
Pagiku kembali diisi dengan suara Bertha yang menyambutku bersama buku catatannya. Ia membacakan sederet agenda, termasuk kebutuhanku yang perlu diurusnya. Dan, pertemuan pagi kami selalu ia akhiri dengan pertanyaan, apakah ada hal lain yang kubutuhkan dan perlu ia siapkan? Namun hari ini, ia tak menutupnya dengan wajah khawatir. Karena tak ada lagi orang yang mengatur ulang agendaku, dan Bertha masih saja berpikir kalau Iris adalah calon penggantinya.
Aku bergumam sendiri seraya menatap layar laptop. Rencana-rencana yang telah rampung dikerjakan mesti dibersihkan satu persatu. Konsentrasiku tak pecah karena suara panggilan telepon biasa. Kecuali dering yang hanya kupilihkan kepadanya, dan muncul tak terduga. Aku menoleh spontan, tanganku sigap meraih dan membaca dengan jelas nama yang tertera di sana meski aku sudah tahu siapa pemanggilnya.
Ada apa? Apakah ia sedang membutuhkanku? Atau hanya sekadar sapaan pagi? Apakah ia berada dalam kondisi yang kurang baik? Atau ini sekadar cobaan bagiku untuk jatuh lagi?
Aku tak tahu.
Sialnya, di saat bersamaan. Panggilan interkom masuk dari meja Bertha. "Pak Mathar, ada Bu Kameela yang ingin bertemu," beritahunya.
Di tanganku, di layar ponsel, tercetak satu panggilan tak terjawab dari Iris.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...