EMPAT

2.6K 240 7
                                    

Aku menapakkan kaki di pelataran Gelora Bung Karno.

Kemejaku berganti kaus kasual. Jeans biru menggantikan celana pantalon. Keds ringan menyelubungi kakiku. Langkahku mantap seperti biasa. Dan tak perlu kesulitan mencari dia dari sekumpulan orang dalam kerumunan sana.

Iris mengenakan kaus berwarna putih dengan krah serta balutan jeans biru yang serasi denganku. Tentu, untuk penampilan hari ini kami tak perlu saling bertukar kabar dulu. Meski anehnya, orang bisa saja menyebut penampilan kami bagai pasangan. Karena kaus kasual yang kukenakan, nyaris senada dengan miliknya.

"Hai?" sapanya riang, melihat kedatanganku.

"Sudah selesai?" tanyaku.

"Sebentar lagi," jawabnya. Kemudian, ia agak berbisik kepadaku. "Saya nunggu crew beres semua ya. Nggak enak kalau langsung ninggalin mereka."

Aku mengangguk, mengiyakan. Sebelum akhirnya Iris kembali pada kerumunan timnya yang sedang melakukan briefing singkat, dan merapikan sejumlah peralatan kemudian.

"Kalau masih ada yang perlu dibereskan, silakan," ujarku kepada Iris yang melangkah ke arahku tak lama kemudian. Pandanganku menuju orang-orang tadi.

"Tinggal dibawa ke mobil. It's all done." Ia meyakinkanku bahwa dirinya sudah benar-benar bebas saat ini. "Mau langsung ke..." pertanyaan Iris menggantung di udara.

"...tempat Ayah." Aku langsung menyambut kalimatnya. Lalu membalikkan tubuhku, berjalan menuju tempat dimana mobilku diparkir, sedang Iris melangkah di belakangku.

Dalam hitungan menit, mobil kami melaju sebuah tempat di ujung timur kota Jakarta. Aku tak membawa Iris ke makam Ayah. Melainkan ke rumahku. Rumah Ayah juga. Kukatakan padanya, sore nanti aku akan ke makam. Dan jika ia ingin ikut aku ke sana, aku akan mempersilakannya.

Pak Gus membukakan pintu gerbang agar mobilku bisa melintas masuk. Senyumnya ramah seraya mengangkat tangan kanannya memberi salam. Iris sempat menoleh ke arahnya sebelum ia menatap lurus pada bangunan dua lantai di hadapannya.

"Dulu Ayah tinggal di sini?"

Aku menjawab dengan anggukan.

"Dan Anda...?" kalimat tanyanya terhenti.

"Hanya berdua." Aku menjawab cepat. "Hanya saya dan Ayah. Kami memang seperti dua bujangan berbeda usia."

Iris tersenyum geli mendengar jawabanku. Saat mobil berhenti, ia turun menapaki lantai batu di pelataran rumah. Pandangannya masih menerawang pada sekeliling. Mengamati setiap sudut rumah ini.

"Saya bisa bayangkan betapa sepinya tinggal di sini," komentarnya setelah selesai mengamati. Sekeliling rumah memang hanya diisi oleh berbagai macam pohon dan taman yang tumbuh terawat. Ada gazebo kayu di sisi sebelah kiri rumah, dan letaknya agak ke belakang. Halaman belakang yang lagi-lagi hanya diisi tanam-tanaman. Tak ada kolam renang di sana, karena aku tak suka olahraga air.

"Sebetulnya ada beberapa asisten. Sebagian mengurus rumah, sebagiannya lagi halaman."

"Apa mereka teman mengobrol yang baik?"

"Saya tak terlalu butuh itu."

"Saya tahu. Anda tidak memperlakukan mereka sebagai teman mengobrol, tetapi pekerja bukan?"

"Saya memperlakukan mereka dengan baik."

"Saya juga tahu itu. Satpam Anda ramah sekali. Dan langsung tersenyum begitu Anda pulang. Ia pasti senang memiliki bos seperti Anda."

"Bagaimana Anda berpendapat begitu?"

"Saya kan saksi hidup Anda."

"Ah..." Aku tak melanjutkan. Ada seringai yang berakhir di sana. Kupersilakan Iris masuk, dan semua opininya langsung terjawab ketika Nana, asisten rumah tanggaku langsung menyambut dengan ucapan selamat datang dan tawaran minum untuk kami berdua.

Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang