Kepergian Tante Ratna menyisakan hening dan perasaan asing. Belum pernah kami mengakhiri pertemuan dengan cara seperti ini. Aku menghormatinya. Aku sungguh menghormatinya. Setelah kepergian Ayah, hanya Tante Ratna satu-satunya sosok orangtua yang aku miliki. Selama ini, aku mendengarkan saran dan masukannya. Menerima permintaannya, meski terkadang mesti harus mengorbankan waktu dan kepentingan pribadiku.
Akan tetapi, tidak untuk kali ini.
Apapun yang ia katakan tadi. Benar atau salah. Jelas atau tidak jelas. Seperti telah ada dinding beton yang memagari seluruh diriku untuk bisa menerimanya. Aku tahu, sejak saat aku menyadari ada perasaan yang ganjil dalam diriku kepada Iris. Akan ada hal-hal seperti ini yang terjadi. Namun, aku telah bersepakat dengan diriku sendiri. Bahwa, perasaan tetaplah perasaan. Sekeras apapun aku berusaha menolaknya, ia akan tetap tumbuh juga.
Aku pernah mencobanya, dan aku tak mampu.
Aku tak ingin lagi ini disebut benar atau salah. Atau membenarkan yang salah, dan sebaliknya menyalahkan sesuatu yang benar. Terkadang, hati manusia memang seperti itu. Dua hal yang berlawanan hanya diberi sekat tipis hingga tampak saru.
Perhatian dan konsentrasiku terbelah-belah ketika dua orang yang datang untuk menyusul ulang proposal yang kuminta berada di ruangan ini untuk berdiskusi. Salah satunya bahkan sampai harus meyakinkan diri kalau aku 'ada'.
Sebelum jam makan siang tiba, aku sudah meninggalkan kantor. Pergi menuju makam Ayah, tempat yang selalu ingin kudatangi ketika aku butuh menepi. Penjaga makam tampak sedang duduk-duduk beristirahat di pos. Ia mengibas-ngibaskan topi untuk mengusir hawa gerah karena langit yang terik.
Tanpa payung, tanpa pelindung kepala, aku terduduk di hadapan makam Ayah. Tak ada dialog yang kubawa, melainkan keheningan dalam kepalaku. Aku tak ingin menyampaikan sesuatu. Aku hanya ingin menyendiri.
Suara derak daun kering yang terinjak, terdengar dari belakang tubuhku. Aku menoleh, mencari tahu siapa yang datang. Ternyata, penjaga makam yang tadi kulihat tengah duduk di posnya.
"Tumben datangnya siang, Mas," sapa pria yang usianya kutaksir sudah kepala empat. Ia sudah hafal betul wajahku, dan tahu kalau aku adalah putra semata wayang pemilik makam bernama Anan ini.
Aku sedang enggan mengobrol dengan siapa-siapa, jadi kujawab saja singkat, "ya", kataku.
"Kemarin sore ada yang datang. Tapi sebentar. Nggak tabur bunga juga. Cuma duduk dan baca doa. Terus pulang."
"Laki-laki atau perempuan, Pak?" tanyaku.
"Perempuan. Masih muda."
Aku menebak-nebak dalam hati. Siapa yang mengunjungi makam Ayah? Sudah empat tahun Ayah pergi. Kunjungan dari teman-teman dan kenalannya sudah mulai berangsur sepi. Dan jika itu perempuan muda, sudah pasti bukan Iris. Karena Iris sudah berada di Bandung kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...