Aku berada di antara bising suara pengumuman dan lalu lalang orang di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Permintaan Iris resmi kukabulkan dengan keberadaanku berbalut kemeja batik lengan panjang dan celana pantalon serta tatanan rambut yang klimis.
Perempuan-perempuan muda yang lewat melirik ke arahku satu-dua kali. Beberapa di antaranya, tak ragu mengulum senyum saat matanya tertangkap basah sedang memandangiku, sedang yang lainnya memilih menyembunyikan senyum itu. Aku tak keberatan, selama tidak ada lelaki muda yang melakukan itu kepadaku.
Aku tak pernah ingin menggunakan istilah seperti kebanyakan pria yang dengan bangga menyematkan tampan kepada dirinya. Aku hanya senang berpakaian dengan baik. Menjaga penampilan agar tetap menarik. Tubuh yang ideal karena konon kata Ayah, berat badan berlebih atau sebaliknya, akan mudah mendatangkan penyakit. Lagipula, enak dilihat adalah salah satu bentuk ibadah; membuat orang tersenyum ketika melihat kita.
Pengumuman dari pengeras suara kembali terdengar, sedang aku berada tak jauh dari papan informasi yang terus mengabarkan sirkulasi penerbangan terbaru. Pesawat Iris mendarat beberapa saat lalu. Dalam belasan menit ke depan, ia akan muncul di depanku.
"Karena pakaian itu yang kamu pakai saat pertama kali kita bertemu." Begitu kata Iris di telepon.
Hari ini, kejadian tersebut akan berulang. Iris akan datang dengan seragam stasiun TV-nya. Namun yang berbeda, kali ini ia tidak mencariku, tetapi aku yang menunggunya.
* * *
Langkah kaki Iris kukenali demikian rupa. Suara koper yang tergeret dan bucket bag di lengan kiri. Rambutnya tergerai dan seringai senyumnya tampak begitu mempesona. Kurasakan hatiku menghangat. Ada gelenyar yang menjalar dan tak bisa kuhindari.
Rekan perempuannya langsung melambaikan tangan tanda perpisahan. Mungkin Iris sudah memberitahu mereka kalau tak akan pulang bersama, karena sudah ada aku yang menunggunya. Sedangkan rekan-rekan lelakinya berbelok ke lain arah. Entah kemana.
"Kamu betul-betul memakainya?" sapa Iris ketika menghampiriku.
"Lelaki dinilai karena janjinya."
"Dan kamu menepati."
Aku mengangguk. Ia harus tahu, kalau aku memang bersungguh-sungguh.
Beberapa saat, kami terdiam dalam pertemuan ini. Setengah kikuk mau apa. Sampai akhirnya, ia yang memulai lebih dulu. Menjulurkan kedua lengannya. Merengkuh tubuhku. Dan aku membalasnya dengan satu pelukan.
Ada perasaan asing sekaligus nyaman. Namun aku tak ingin berusaha menolaknya.
Kubiarkan pelukannya terlepas perlahan-lahan. Lalu kami saling pandang.
"Bagaimana tugas luar kotamu?" tanyaku.
"Yakin mau bahas ini?" Ia balik bertanya. "Tak ada sesuatu yang lebih menarik?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...