DUA PULUH DELAPAN

1.4K 128 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah ragu, ataukah rasa yang mendadak semu.

Cahaya sore tak lagi merupa langit senja yang kutunggu. Kalau setiap orang butuh rumah untuk kembali. Yang kubutuhkan adalah cahaya untuk menuntunku keluar dari kabut perasaan ini.

Pikiranku mendadak tidak sehat. Seperti koin bermata dua yang sedang diundi. Keduanya berebut peran untuk diakui. Fakta atau sekadar kata-kata kiasan untuk meyakinkan? Aku tak tahu. Aku hanya perlu mencari tahu.

Dalam kegamangan, biasanya aku pergi ke makam Ayah. Aku butuh bercerita. Aku butuh jawaban. Aku butuh suara untuk menenangkan. Sudah kubelokkan laju kendaraanku ke komplek pemakaman. Namun beberapa meter sebelum moncong mobilku berbelok ke pintu masuk, aku memilih berhenti dan memutar arah.

Kalau pun ada jawaban yang paling kucari. Seharusnya hal itu dimulai dari tempat terdekat yang bisa kusinggahi.

Aku pulang ke rumah.

Bagai anak kecil yang tengah berusaha memecahkan teka-teki. Kudatangi lukisan Ayah dan Ibu di ruang tengah. Aku memandangi wajah ayah lamat-lamat. Foto yang diambil terlampau tua hingga tak memuat saput senyum sama sekali di sana.

Kutanyakan padanya dalam hati. Betulkah cinta memilihkan jalan yang sama untukku dan untukmu? Betulkah Ayah tahu kalau aku tak akan berhenti mencintai orang tersebut sampai mati?

Jika benar demikian, sungguh tega Ayah menyama-nyamakan diriku dengannya. Membiarkan perasaanku jatuh sedalam-dalamnya, dan mesti merelakan seikhlas-ikhlasnya.

Kenapa kah?

* * *

Menit-menit yang panjang tetaplah diisi tanda tanya. Hingga aku lelah. Hingga hatiku yang patah tak kunjung menemukan sebab untuk menjadikannya pugar kembali.

Kakiku melangkah tanpa perintah. Membuka satu ruang yang sudah sekian lama tak kutengok lagi. Ruang yang kubiarkan tampil apa adanya. Yang tetap seperti itu sejak ditinggal penghuninya.

Kamar Ayah tak pengap sama sekali karena Nana tetap membersihkannya selama empat tahum terakhir. Meja dan satu kursi kayu di sisi kiri pintu, lemari pakaian, tempat tidur yang tak lagi dilapisi kain serta beberapa bingkai foto yang tidak turun dari tempatnya.

Namun hanya titik itu yang menjadi pusat perhatianku. Lapisan pelitur di beberapa sisi mulai luntur. Memberikan efek kerak yang mengelupas. Ketika aku menarik kedua belah pintunya, terdengar suara derit dari engsel yang terlalu lama tak digunakan.

Barisan pakaian Ayah tetap tersusun rapi meski aroma waktu yang terhidu tak bisa membohongi kalau semua yang ada di sini sudah terlampau lama ditinggalkan. Satu demi satu helai pakaian yang tersampir di hanger menyentuh telapak tanganku. Lalu berpindah pada tumpukan-tumpukan di sisi sebelah kanannya.

Aku tak pernah membongkar isi lemari Ayah, kecuali beliau yang meminta. Aku juga tak pernah tahu apa yang ia selipkan di antara pakaian-pakaiannya. Atau rahasia apa yang ia sembunyikan dari orang-orang di sekitarnya.

Malam ini adalah pengecualian. Hatiku seperti dituntun untuk menelusuri apa yang ada di dalam sini. Dan, lipatan kertas kecil yang menyembul di dasar, membuatku ingin menariknya dan menilik apa yang ada di sana.

Surat. Sebuah surat. Bertuliskan tulisan tangah Ayah sendiri. Aku membawa kertas tersebut, dan terduduk di atas ranjang Ayah. Mengamatinya baik-baik setiap baris kalimat yang tergores. Setiap rangkaian kata yang dituturkannya.


Ada mimpi-mimpi yang tak tergapai.

Ada harap yang mungkin tak akan pernah terwujud.

Pernah kumerasakan seperti apa mencintai.

Pernah kualami bahagia bersamamu.

Pernah kutahu indah cinta serupa dirimu yang selalu ingin kurindu.

Namun, hidup menentukan jalannya sendiri.

Terkadang, yang kita inginkan tak mesti selalu terjadi.

Yang kita mimpikan, tak pasti bagaimana akhirnya nanti.

Aku mencintaimu.

Aku akan selalu mencintaimu.

Kau mesti tahu, tak akan berubah hatiku padamu.

Pada hidupku kali ini, telah kuikhlaskan bahagia yang berlalu.

Telah kurelakan perginya cintamu.

Telah kulepaskan sebagian harap yang tak mungkin 'kan kembali.

Kau pun tak perlu menangis dan mencari.

Sebab kita telah mengamini.

Cinta ini... sekalipun tak memiliki.

Akan tetap berada di satu tempat yang tak terganti.

Di hatimu saja.

Di hatiku selalu.

Anan. Jakarta, 1992


Butuh waktu sekian jenak untukku kembali. Aku bahkan baru menyadari, kalau yang Ayah tulis itu bukanlah surat, melainkan puisi. Puisi yang sudah barang tentu dituliskannya kepada Ibu.

Tanpa kusadari, pandanganku menjadi kabur. Bukan sebab aku kehilangan kesadaranku. Namun air mata yang nyaris jatuh.

Aku hampir tak pernah menangis. Dalam hidupku. Akan tetapi, malam ini, entah karena puisi itu terlampau sakit untuk diresapi. Atau pikiranku yang terlalu penuh untuk memahami. Bahwa pada kenyataannya, cinta memang telah berlaku seperti itu.

Barisan kalimat itu tak lagi bisa kulihat.

Selapis bening air mata telah mengaburkan pandanganku.

Tak ada isak.

Hanya tangis yang terlalu dalam untuk bisa kulepaskan.

* * *

Aku terjaga di pagi hari dan menemukan diriku masih berada di dalam kamar Ayah. Aku bahkan tak ingat, kapan tepatnya aku terlelap. Pakaianku belum berganti. Dan ketika ingatanku telah terkumpul sepenuhnya, aku baru menyadari ada sehelai kertas dalam genggamanku.

Di tepian tempat tidur, aku terduduk merenungi diriku sendiri. Kata-kata yang Ayah tulis dalam puisinya tak sekadar kupahami. Namun kini terngiang-ngiang di telingaku. Seperti telah melekat dalam ingatan dan tak kunjung mau pergi.

Kilasan percakapanku dengan Tante Ratna ikut ambil andil sesekali. Ia bicara tentang Sang Pelangi sejak saat ia belum bertemu Iris. Ia bertanya, seolah ia mengenal betul sosoknya. Aku juga teringat apa yang Iris katakan sebelum pergi, bahwa jika Ayah dan Ibu masih ada, mereka akan berpendapat sama.

Benarkah hidup dan takdir sudah sejak lama menentukan pilihannya? Atau aku hanya terlalu naif untuk meminta pengakuan atas cinta ini?

* * *

Kata-kata yang Ayah tulis di sana...

...muncul kembali bagai mimpi yang tak beraturan.

Setengah hari. Sehari penuh. Berapa hari lagi yang kuperlukan untuk membuat satu keputusan akhir dalam hidupku. Aku tak sedang berada di ruang kerjaku. Bukan di kedai kopi favoritku. Tidak di makam Ayah. Tidak dimana pun.

Ponsel dalam genggamanku tak menampilkan satu pesan atau panggilan pun. Tak ada yang berarti untuk dilakukan. Namun pada akhirnya, segala sesuatu mesti diselesaikan juga. Sebab tak mungkin membiarkan bayang-bayang terus mengikuti kemana pun perginya langkahku.

Aku menekan satu nomor tujuan. Segera kusambar sapa itu dengan satu perkataan bahwa aku tak ingin lagi ditolak, dan ia pun menuruti permintaanku.

"Aku akan datang ke tempatmu."

* * *

Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang