Hari gerimis pagi ini.
Aku menengadahkan kepala ke atas ketika turun dari mobil. Saput awan kelabu memenuhi sekujur langit. Jika tidak gerimis berkepanjangan, pastilah hari ini akan diisi mendung terus menerus.
Sudah jadi agendaku untuk langsung bertemu Bertha setiap kali tiba di kantor. Ia akan memberi tahu sejumlah rencana kerja yang mesti kuselesaikan hari ini. Meeting dengan klien A, rapat koordinasi dengan kepala department, pertemuan khusus dengan seorang kepala divisi yang mengajukan resign, sampai pesan-pesan yang mesti dibaca karena aku melewatkannya kemarin.
"Ada yang perlu saya siapkan lagi, Pak?" tanyanya sigap. Terkadang bagiku, ia lebih cocok jika menjadi asisten Presiden ketimbang sekretaris pribadi. Dipakaikan stelan jas hitam dengan penyuara telinga pun rasanya pantas saja. Ia akan terlihat gagah dan tegas. Terkecuali pulasan bedak dan perona merah di pipinya yang tak pernah luntur walau sudah seharian beraktivitas.
"Berkas sudah di meja saya?" tanyaku.
"Sudah siap semuanya, Pak."
Sangat bisa diandalkan. Pujiku dalam hati. Dan Bertha pergi tanpa pernah tahu bahwa bosnya ini diam-diam mulai takut kalau kehilangan pekerja secakap dia suatu hari nanti.
Di meja kerjaku, semua berkas yang Bertha bilang sudah tersedia di meja. Aku membuka isinya satu persatu. Namun, baru sampai di lembar ke sekian, konsentrasiku sudah buyar.
Foto Ayah bersamaku yang termuat dalam bingkai kecil mengusikku. Foto tersebut diambil beberapa tahun lalu. Di hari lahir Ayah yang sudah setengah abad. Katanya kepadaku, jangan pernah sia-siakan momen dalam hidup. Separuh dari hari-hari kita adalah untuk dinikmati, separuh lainnya untuk diabadikan. Dan untuk itulah, aku mau saja diajak Ayah berfoto bersama. Ayah mengenakan kemeja putih dan celana pendek ala-ala Bob Sadino. Sedang lengan kemeja batikku tergulung sampai siku dengan senyum yang sedikit kaku.
Ayah, mungkin engkau telah menangkap kegelisahanku. Meski siapapun yang bertemu denganku hari ini akan mengatakan kalau aku baik-baik saja. Mereka tak akan pernah tahu kapan seorang Mathar merasa rapuh, kapan hatinya berteriak gaduh. Namun sesungguhnya, sudah sejak pagi tadi aku mempertanyakan ini pada diriku sendiri.
Apa arti kecupan semalam?
Jika tidak kujatuhkan pada bibir itu, mungkin aku tak akan sebertanya ini. Bukankah peluk dan cium adalah sesuatu yang wajar adanya? Aku hanya mengikuti naluri. Ada rasa yang menggebu dan aku tak sanggup mengendalikannya. Otakku tak mampu bekerja secepat rasa. Dan pikiran bodohku mengatakan tak apa-apa. Kalau kau punya rasa, biarkan ia mengalir saja. Menemui muaranya.
Namun sepagi ini, hati kecilku merasa gelisah. Ini adalah sesuatu yang salah. Dan kewajaran tak pernah bisa selalu dibenarkan. Wajar jika aku mengecup bibir itu, karena hanya mengikuti rasa. Wajar jika ia menyambut pelukku, karena hanya dengan itu degup di dada bisa reda.
Betulkah begitu, Ayah?
Hari ini gerimis seolah tengah menyindirku. Lihat Mathar, ini hujan yang sama seperti dirimu. Kau tak bisa memilih akan jatuh pada siapa. Mereka juga tak bisa menghindar jika kau jatuh padanya. Namun, jika payung dikembangkan, bukankah itu artinya takdir kalian untuk bersatu bisa diciptakan? Pada intinya, akan selalu ada pilihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)
RomanceDengan berbekal surat wasiat mendiang sang Ibu dan selembar foto yang sudah usang, Iris terbang ke Jakarta mencari Mathar, kakak kandungnya dari hasil pernikahan sang Ibu dengan seorang lelaki bernama Anan. Pencarian tersebut berujung pada perkenala...