DUA PULUH LIMA

1K 115 9
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara deru mesin pendingin di mobil kentara dengan jelas. Aku memijat bagian belakang leherku yang terasa pegal. Saput udara dingin membuat bulu kudukku berdiri. Pak Dadan memerhatikanku dari spion tengah dan segera mengatur ulang suhu udara.

"Bapak lagi meriang ya?" tanyanya, menyimpulkan.

"Nggak fit seperti biasanya saja," jawabku. "Mungkin karena kurang tidur semalam."

"Mau saya pesankan teh hangat sama Nana, Pak? Kita putar balik dulu sebentar mumpung belum jauh." Pak Dadan mengangsurkan bantuannya. Diperhatikannya aku kembali dari spion dengan seksama.

"Nggak usah, Pak," tolakku. "Nanti saya minta di kantor saja," tambahku.

Pak Dadan tak menyahut lagi. Ia kembali fokus mengemudi. Kukenakan jas kerjaku yang biasa tergantung di hanger. Kali ini Pak Dadan benar-benar mematikan mesin pendingin, dan membuka sedikit jendela sopir untuk memberi hawa pada kabin.

"Pak, kita nggak usah ke kantor dulu deh," pintaku, tiba-tiba mengubah rencana.

"Kemana Pak?"

"Nanti saya kasih tahu jalannya," ujarku. Pak Dadan hanya menyopir dengan patuh.

* * *

Baru pertama kali ini Pak Dadan mengantarku ke sini. Wilayah ini tampak asing baginya. Jalan kecil dengan anak-anak yang bermain dan berlarian di sepanjangnya. Bangunan tiga lantai di dalam gang adalah bangunan tertinggi yang ada di wilayah ini. Meski daerahnya sempit dan rumah-rumah dibangun berhimpitan, tetapi tidak tampak kesan kumuh sekalipun.

"Pak Dadan tunggu di sini dulu ya sebentar," pintaku, seraya melepas jas dan menapak turun ke tanah.

Iris pernah berpesan padaku agar tidak mengantar sampai halaman indekos. Namun hari ini aku nekat menyambanginya. Seorang pria berperut buncit dengan kaus oblong putih dan celana abu-abu gelap sedang memindahkan sampah dari kotak kecil ke bak penampungan yang terletak di luar pagar.

"Nyari siapa?" tanyanya tegas. Air mukanya tak ramah, jelas sudah pesan Iris yang disampaikan kepadaku dulu.

"Saya mau ketemu Iris, Pak. Ngekos di sini."

Pria tersebut manggut-manggut, mengenal nama yang kusebutkan. Lalu masuk ke dalam untuk meletakkan kotak sampah kecil di tangannya, dan kembali tak lama setelah itu.

"Mas siapa?"

"Saya kakaknya."

Pria itu kembali manggut-manggut. Lalu mempersilakan aku masuk dan menunggu di teras gedung yang ternaungi kanopi. Ada bangku-bangku kayu panjang dan sofa yang sedikit lusuh, yang kuyakini menjadi tempat menerima tamu penghuni indekos di sini.

Bersamaan dengan itu, wanita gemuk yang kuyakini sebagai istrinya muncul dengan sekantong penuh pakaian kotor. Ia bertanya setengah berbisik kepada suaminya. Lalu menghampiriku dan berujar ramah, "Duduk dulu, Mas. Nanti Bapak yang panggil. Di sini tamu memang nggak boleh naik ke atas apalagi masuk kamar. Soalnya takut ada kejadian yang nggak-nggak. Dari dulu juga aturannya di sini begitu. Maklum lah, kos-kosan cewek. Nanti ngobrolnya di bawah saja ya." Ia menjelaskan panjang lebar. Aku hanya menjawab singkat dengan seulas senyum kecil serupa pemakluman.

Hujan Tanpa Pelangi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang