9. Opposite

5.7K 581 42
                                    

Saat pagi menjemput sang surya. Di mana matahari bersinar terang, menelusup melewati jendela kamar, hangat meraba. Perlahan membuka kelopak yang terasa berat. Seingatnya semalam dia masih berkutat di meja belajar tentang rumus-rumus trigonometri yang membuat penasaran setengah mati, ketimbang cinta segitiga.

Buku-buku di meja belajar sudah beres dan rapi, tetapi cara merapikannya bukan seperti caranya. Pasalnya Rosè tidak pernah menyimpan buku dengan menumpuk-numpuknya, tetapi dengan mensejajarkan secara berdiri. Sehingga dapat dengan mudah dilihat berdasarkan judul beserta pengarangnya.

Terpenting bagaimana dia bisa tiba-tiba menemukan diri tergeletak di atas ranjang. Rosè bukan orang aneh yang akan tidur sambil berjalan atau melupakan sesuatu sebelum tidur atau hal-hal semacam itu sehingga tidak ingat apa yang terakhir kali dia lakukan sebelum pergi tidur. Termasuk seseorang yang lebih teliti.

Namun, anggap saja dia tidak teliti pada laki-laki yang satu ini.

"Gimana? Setuju?"

Entah Dewi Fortuna memendam dendam apa pada dirinya. Entah karena dia memang sedang sial. Entah karena dia salah sarapan karena menelan secara 'paksa' roti selai kacang yang mana bukan selera di pagi hari.

Siapa peduli? Dewi Fortuna, sial, atau roti selai kacang sekali pun, tetap saja laki-laki cupu berkacamata yang poninya menjuntai di sekitar wajahnya itu memandang Rosè dengan tatapan yang menantang. Rosè sama sekali tidak menyukai keramaian, tidak menyukai berpasang mata memerhatikannya, dan tidak pula menyukai tatapan remeh dari sosok laki-laki di hadapannya. Kenapa dia harus bermasalah dengannya? Rosè terus merutuk di hati, tepatnya mengutuk Junhoe untuk segera menyudahi seluruh perhatian yang berlebihan ini.

Wendy tidak berkutik, hanya memandang sendu keadaan Rosè sama seperti pandangan siswa siswi yang lainnya. Jungkook tentu saja masih belum kembali dari kantin, pagi hari sekali pun. Murid kelas tidak mau melewatkan sedikit pun kegaduhan kelas, antara si cupu Junhoe dan si anak baru Rosè.

Rosè tetap memasang wajah datarnya saat Junhoe berkata akan menjadikannya kacung selama liburan musim panas tiba, jika nilainya benar-benar di bawah Junhoe. Namun, tidak hanya itu, Junhoe tidak meminta adanya penolakan tanpa alasan dan bukti yang jelas atas penolakannya. Menafsirkan bahwa Junhoe bukan orang yang akan mudah dibodohi.

Rosè tidak meraih jabatan tangannya. "Kita sudah berjabat," ucapnya pelan.

Junhoe berdecih, "sekarang dengan lebih banyak saksi. Jadi kalau kau melanggar, akan ada perpanjangan waktu. Satu pelanggaran akan di tambah satu minggu."

Rosè menggeleng. "Dua minggu." Sembari menunjukkan angka dua dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, dia berucap dengan mantap.

"Lima hari," timpal Junhoe. Laki-laki itu tidak kalah sengit untuk menentukan jumlah hari tambahan.

"Satu minggu."

"Dua hari."

"Tiga hari."/"Tiga hari." Keduanya berucap berbarengan.

"Sepakat." Rosè mengulurkan tangannya dan diterima dengan mantap oleh Junhoe.

"Jika kau melanggar peraturan, maka kau yang kalah." Lantas Junhoe pergi setelah merasa puas akan kalimat terakhirnya.

Berkali-kali Wendy menepuk-nepuk pundak Rosè. Keadaan yang tidak lebih mengenaskan dari pada seseorang yang dicabut nyawa oleh malaikat maut. Dalan keadaan seperti ini, air muka yang biasanya dingin dan misterius, tampak konyol dan aneh dengan dahi saling bertautan pun mantra yang keluar dari mulutnya.

"Sudah-sudah." Wendy menghela napas, merasa iba pada sahabatnya yang tiba-tiba mengacaukan suasana kelas pagi tadi. Lagi-lagi Rosè merutuki nasibnya.

Good MOM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang