7

3.4K 408 9
                                    

Berkali-kali gadis itu melihat ponselnya. Memastikan bahwa dia setang tidak salah tempat, sebelum memutuskan untuk masuk.

Matanya berpendar, menilik satu persatu meja di cafe. Mencoba mencari-cari sosok yang dia kenali lewat memori-memori sebelumnya.

Senyum terukir tatkala irisnya menemukan lambaian tangan orang yang dimaksud. Segera saja langkahnya dia seret untuk mendekat.

"Maaf aku terlambat, aku kesulitan mencari tempat ini." Gadis itu menyuguhkan senyum terbaik, setelah menarik kursi dan duduk berhadapan.

Lelaki itu tertawa. "Aku juga baru datang, ku kira aku yang terlambat."

"Oh iya, ini." Lelaki itu menyodorkan secarik kertas pada gadis berponi lurus di hadapannya.

"Kau isi saja, biar aku yang berikan ke tempat pendaftarannya," lanjutnya.

Gadis itu, Lalisa, melirik sebentar. "Oh, ini surat pendaftaran yang kau singgung itu?"

"Iya." Dia mengangguk. "Kau tau, berkat tingkat keberuntunganku yang tinggi ini, kita dapat formulir pendaftaran yang terakhir."

"Ini, benar yang terakhir?!" tanya Lisa skeptis.

"Kali ini yang ingin terlibat banyak. Katanya juga jurinya berasal dari salah satu agensi besar. Jadi, kalau lulus kau juga bisa jadi trainee."

"Kesempatan bagus." Lisa berujar semangat.

Bambam menggeser kursi agar dapat mendekat dengan Lisa untuk sama-sama melihat rekomendasi dari gadis berponi tersebut. Tanpa banyak bicara Lisa menyalakan laptop dan segera membuka folder hasil diskusi dengan Rosè kemarin.

Detik berikutnya keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Lisa fokus pada laptopnya untuk mencari-cari inspirasi tarian. Namun, dia sendiri tidak sadar bahwa matanya mencuri-curi kesempatan untuk sekedar melirik Bambam. Rambutnya yang lembut berwarna hitam legam. Bibir tebal penuh itu menarik di sebuah sudut seolah barisan dengan mata tipis itu menyipit mentap arah laptopnya.

Sudah berapa lama Lisa tak bersama dan terbiasa dengan laki-laki ini, mungkin mampu mendeskripsikan perasaan gugupnya. Terutama kali ini bahunya cukup berdempetan dengan bahu Bambam. Lisa menahan napas. Menguar aroma tengkuk Bambam yang dekat, meskipun tangan kanan laki-laki itu tertahan di sana.

Entah apa yang membuat gadis itu gugup hanya dengan memerhatikan garis alisnya yang tebal dan hitam. Rasanya, Lisa ingin menyentuh bagian itu.

Lisa tersadar sendiri saat Bambam menegakkan tubuh dan beralih untuk bersandar pada kursi. Pipi chubby nya memerah melihat ekspresi serius Bambam.

Gadis itu menjadi kesal sendiri. Jika begini terus mungkin pekerjaan ini tak kunjung beres. Lisa mendorong bahu Bambam. "Yakkk menyingkir, kepalamu menghalangi!"

Alhasil tenaga itu cukup membuat kursi mereka sedikit menjauh. Sekitar 5cm. "Apa?! Kenapa kau tidak bilang dari tadi?"

"Mana mungkin aku ganggu, kau kan sedang fokus."

"Menyebalkan!" Bambam menggeser kursinya tidak terlalu jauh tapi masih bisa untu melihat ke arah laptop.

Setelah dirasa jarak cukup aman, akhirnya Lisa bisa bernapas lega. Dia sendiri tidak tau mengapa bisa segugup ini, entah karena efek apa.













[Good Mom]

Setelah perbincangan panjang di cafe, mereka berdua akhirnya beranjak keluar. Tak terasa hari beralih sore, tetapi matahari belum sepenuhnya tenggelam dan angin malam belum terasa. Kota Seoul agaknya ramai dengan orang-orang yang berlalu-lalang selesai beraktivitas.

Good MOM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang