"Ya Tuhan,"
Gadis itu menghela napas pelan. Membuka mukut lebar-lebar dengan membolakan mata.
Jisoo benar-benar tidak bisa habis pikir. Sekeras apapun dia berusaha. Sekuat apapun dia bertahan. Pada akhirnya, cerita yang sama akan terluang kembali. Apa yang dapat menjadi lebih buruk?
Jelas hal ini adalah hal yang sangat buruk.
Sembari memandangi kertas bertuliskan namanya dengan hangul yang ditulis rapi, ketegasan saat menulisnya tampak dari bekas kasat mata guratan kecil dari balik kertas. Begitu pula dengan timpaan tinta merah berada di atad coretan nama yang membuatnya lebih menjadi pusat perhatian. Mata menatap dengan sayu tak kunjung turun dari sana.
"Heol, nilai ujianku sangat buruk. Lebih buruk dari yang ku kira." Sekiranya begitu gumaman Jisoo berulang kali terlebih untuk dirinya sendiri. Dengan ekspresi meringis bak orang yang sedang sekarat, atau mungkin lebih buruk dari itu.
"Ada apa?" Irene sudah berada di hadapannya saat Jisoo menurunkan kertas ujian harian dari wajahnya.
Jisoo pun menjatuhkan wajahnya di meja. Meremas kertas itu menjadi bola lebih kecil. "Nilaiku kacau!! Benar-benar kacau!!" erangnya.
Irene menarik bulatan kecil dari tangan Jisoo, ia memandanginya dengan seksama, mendapati diri terkejut sebelum akhirnya tertawa dengan keras.
"Ya~... tertawalah sesukamu."
"Nilai macam apa ini!"
"Yakk hentikan!" Jisoo memukul Irene yang rasanya tak kunjung berhenti tertawa. Betapa pun, nilai itu adalah hasil kerja kerasnya untuk menjawab soal-soal yang tidak dia mengerti sama sekali. Tidak patut di tertawakan.
"Apa ini?! Nilai ujianmu?!" Tiba-tiba kertas bertinta merah itu sudah beralih tangan. Hanbin memandang sama terkejutnya seperti yang di lakukan Irene sebelum ini.
"Woaaah, kau benar-benar pemecah rekor nilai terendah!! Tenang saja kau tidak sendiri." Hanbin menepuk pelan pundak Jisoo yang masih di posisi keterpurukan.
Jisoo bangkit mendengar Hanbin mengatakan jika dia tidak sendiri menanggung nilai bertinta merah. Setidaknya dia tidak sendirian untuk menanggung malu. "Benarkah?! Kau juga?"
"Tentu saja bukan aku, nilaiku jauh di atasmu, jangan sekali pun meremehkan aku." Laki-laki itu pun menunjukkan kertas ujiannya. Tertera nilai 95 yang bertumpukan dengan nama Hanbin, menggunakan tinta biru. Benar-benar berbeda 46 poin.
"Tapi dengan dia." Hanbin menunjuk sosok perempuan yang rambutnya di kuncir dua, yang sama memandang lesu kertas ujian. Gadis itu duduk tak jauh dari mereka, menundukkan kepala diantara murid-murid lain yang sama gaduhnya saling membandingkan nilai. Raut meringis dapat ditangkap oleh netra Jisoo sat itu.
"Kei?" tanyanya, atau lebih tepatnya untuk dirinya sendiri.
Hanbin melipat tangan di dada. "Nilainya lebih kecil darimu."
"Tapi terima saja, paling buruknya kau akan di kurung selamanya oleh ibumu untuk mengerjakan soal-soal seperti ini," lanjut Hanbin menakut-nakuti.
"Kau pernah mengalami hal seperti itu ternyata." Irene menimpali, memandang remeh Hanbin.
Hanbin mengangguk mantap seolah memang dia tidak menutupi apapun dari Jisoo maupun Irene, atau lebih tepatnya seperti itulah sifatnya. Hanbin merupakan laki-laki diantara banyaknya laki-laki yang memiliki sifat ceria dan bersemangat. Terkadang di jam istirahat, dia akan menghabiskan waktu dengan teman-teman dari kelas lain dengan bermain sepak bola, bola basket, atau membolos pelajaran.
Hanbin memiliki paras yang lumayan, rahang yang tidak terlalu tegas. Senyum menawan empat sentimeter melengkung membentuk sabit setengah sempurna. Dua pipi berisi yang melengkapi senyumnya. Jangan lupakan lesung pipi yang menawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good MOM ✔
FanfictionKisah tentang Jessica Jung dan keempat anaknya. Season 1 : End Season 2 : On Going ©2016 filofrosine present Amazing cover by @nothofogus