Selesai

1.6K 84 9
                                    

Seminggu sudah kejadian itu berlalu.
Dan juga, seminggu sudah Mizella mengurung diri dalam kamar dan tak mau keluar rumah.

Hatinya yang masih terluka belum ia temukan penawarnya.

Penawar yang hanya dapat ada jika laki-laki itu membuka mata.

Setiap hari Mizella tidak mau kesekolah dan memilih pergi kerumah sakit dan memandangi Magenta yang masih menutup matanya.

Setiap hari ia berdoa agar kesembuhan selalu berpihak pada laki-laki ini.

Dalam tadahan tangannya, ia selalu meminta pada yang maha kuasa agar semuanya terlihat seperti mimpi.

Mimpi yang benar-benar buruk dan tidak nyata sama sekali. Tapi sayang, setiap ia hendak membuka mata sehabis tidur, bayangan Magenta dan juga sifatnya pada laki-laki itu selalu menghantuinya.

Setiap hari ia menyadari bahwa semua ini bukanlah mimpi. Semua ini nyata bahwa dirinya telah kehilangan laki-laki ini.

Walaupun sekarang ia tengah berada didepan ranjang laki-laki ini, ia masih saja merasa sangat jauh. Sangat.

“ Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Ujarnya pelan seraya menggenggam erat tangan Magenta.

Ia perlahan menundukkan kepala dan menarik tangan laki-laki itu didepan kepalanya.

“ Magenta maaf.” Ujarnya parau sembari terus mencoba menahan tangis yang ingin pecah kembali.

Ini bukan untuk pertama kalinya kata-kata itu ia ucapkan.

Setiap saat dan setiap ia mengingat laki-laki itu, selalu saja kata-kata itu selalu terucap dari mulutnya.

Setelah dirasanya cukup bermenung didepan Magenta, Mizella memutuskan keluar ruangan itu dengan pelan.

Tetapi, belum sempat ia beranjak berjalan. Tangannya digapai oleh seseorang dengan lamban.

Dan itu menghentikan langkah Mizella.
Hatinya langsung tersentak.
Jantungnya langsung berdetak dengan kencangnya. Mizella langsung membalikkan badan.

Yang benar saja, Magenta tengah menggenggam tangannya dengan pelan seraya mencoba membuka mata.

Mizella langsung mendekati Magenta dan lebih memperkuat genggamannya.
Ia terus memperhatikan wajah memar laki-laki itu dengan serius. Sampai terukir diwajahnya senyuman senang karna sekarang laki-laki itu dengan layu memandangnya.

Spontan air mata langsung membasahi wajahnya. Ia senang sembari terus meneteskan air mata.

“ Gen.. Genta..” Bibirnya mencoba mengucapkan sepatah kata agar laki-laki itu dapat mendengarnya.

Tapi, yang dapat ia ucapkan hanyalah memanggil nama Magenta. Tidak lebih dari itu.

Magenta yang kini belum sepenuhnya membuka mata, perlahan meneteskan air mata disudut matanya.

Lalu, tak lama setelah itu ia menutup mata kembali. Tangan yang tadi ia genggam dengan pelan, kini melemah sudah.

Kejadian itu spontan membuat Mizella berdiri dan mendekat lebih dekat. Jantungnya kembali berdegup dengan kencang.

Tanpa pikir panjang lagi, Mizella seketika langsung berlari keluar ruangan dengan tujuan memanggil dokter atau yang dapat membantunya sekarang.

Belum sempat ia keluar ruangan, dapat dilihatnya dengan jelas Alfikri tengah berdiri didepan pintu ruangan Magenta.

Mizella dengan penuh rasa khwatir langsung menghampiri Alfikri yang berdiri menatapnya itu.

“ Magenta sadar bang Al. Magenta sadar. Dia tadi natap aku dan dia.. dia sekarang.. dia nutup mata lagi..” Ujar Mizella dengan wajah yang benar-benar panik.

Senja, Gerimis dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang