Ragu

1.2K 76 10
                                    

Mizella berlari kekamarnya dengan wajah yang masih sembab itu.

Ia langsung membanting pintu kamar dan menghempaskan badannya ke kasurnya.

Hatinya perih, jiwa rapuhnya menjerit keras menahan sesak yang bertubi-tubi.

Ia kesal, ia benci semua ini. Saat hatinya menolak akan memperjuangan Magenta, matanya malah memandang jelas kejujuran dimata Magenta.

Keseriusan yang belum pernah ia lihat diwajah Magenta sebelumnya.

Tapi kenapa hatinya menolak untuk membalas? Kenapa jiwanya berusaha agar tidak mengiyakan segalanya?

Kenapa dengan diriku?!”

Perlahan Mizella mengangkat wajahnya yang ia sembunyikan dibalik bantal empuknya itu.

Diraihnya handphone yang sedari tadi berbunyi. Sekejab dipandangnya panggilan telfon dari nomor yang belum ia kenali itu.

Malas menerka, Mizella langsung mendudukkan badannya dan menghapus sisa air mata kepedihannya itu.

Ia langsung mengangkat telfon tersebut setelah mencoba menormalkan kembali suaranya.

“ Halo?”

Mizella.. ini aku, Al.”

“ Ooh. Bang Al, ada apa?”

Tidak, kamu sakit?”

“ Enggak. Baik-baik aja kok.”

Hmm.. soal ucapanku tadi, kamu masih ingin gak mau jawab apa-apa?”

“ Kamu.. mau aku jawab sekarang?”

Ng.. tidak. Jawab saat hatimu tenang saja.”

“ Baiklah. Aku mau keluar sebentar.”

Oh? Oke oke, Bay.”

“ Bay”

Terdengar dingin dan berbeda memang. Tapi Mizella tak peduli itu.

Ia kembali menghempaskan badannya. Tak peduli pada langit yang perlahan mulai membasahi bumi dan bulan yang bertanya-tanya pada dirinya.

Magentaaa.. apa benar aku nyata? Apa benar aku bukan bayang-bayang siapapun?”

Malam itu berakhir dengan pedih hati Mizella. Pedihnya jiwanya mendapati betapa bodoh dirinya membiarkan Magenta pergi disaat ia benar-benar ingin bersamanya.

Betapa kesalnya ia disaat yang ia lihat dimata Magenta adalah sebuah kejujuran, tetapi jiwanya membantah keras-keras.

Ia ragu.

Ragu dengan hatinya yang masih tak mau merelakan Magenta dan juga tak mau melihat Magenta pergi.

Aku bodoh”

***

Pagi.

Sinar mentari datang lagi menyapa laki-laki berkulit kuning langsat itu.

Ia yang sudah siap untuk berangkat ke sekolah kembali memalingkan wajahnya ke cermin besar didepannya itu.

Dipandangnya wajahnya dengan tatapan kosong. Dan kemudian perlahan tersenyum miris.

Apa wajah ini terlihat seperti pembohong dimatamu Mizella?”

Setelah termenung cukup lama seperti malam tadi, Magenta kembali menghela nafas panjang.

Hatinya memang sedang sangat rusuh, tapi ia akan terus berusaha meyakinkan gadis itu bahwa dirinya benar-benar telah terpana.

Terpana dengan kesejukan yang dibawa gerimis itu.

Senja, Gerimis dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang