Chapter 8 : Dia...

2.3K 94 0
                                        

Shania PoV

Ada berkas-berkas cahaya yang bisa kulihat meskipun mataku masih tertutup. Cahayanya tembus menyinari kedua mataku. Matahari bersinar terang dan membuatku terbangun dengan pantulan sinarnya. Perlahan ku buka kedua mataku dan mencoba untuk menyesuaikan dengan cahaya yang bersinar terang. Tirai jendela terbuka lebar sehingga cahaya matahari dengan leluasa menyinari ruangan ini.

Kepalaku masih terasa berat dan pusing. Ku akui tenagaku belum pulih total. Pandanganku belum terfokus. Sesekali ku manjakan mata ini hingga terpejam namun seakan matahari tak mengijinkan ku untuk terlelap kembali. Sinarnya sungguh menyilaukan.

Perlahan-perlahan kesadaranku mulai kembali. Tak seperti biasanya kamar hotel ini sunyi. Biasanya suara manja Fania terdengar dimana-mana. Suara aktivitas di kamar yang biasanya terdengar tak ada sama sekali.

'Apa mungkin mereka sudah pergi dan tidak enak mengganggu istirahatku?' Jika ia, pasti mereka meninggalkan pesan.' batinku

Mata ku melihat ke arah nakas siapa tau ada sebuah pesan yang mereka tinggalkan, namun tidak ada sama sekali.

Kucari-cari hp di sekitar tempat tidur, di bawah bantal dan di bawah selimut. Tetap tidak kutemukan. Mataku mencari-cari keberadaan HPku. Bukan Hp yang ketemukan tapi perasaan ganjil yang kudapatkan.

'Kapan kamar ini ditata ulang? Kenapa berbeda dengan yang semalam? Apa mereka memesan kamar yang lain? Trus, kenapa aku tidak tau dengan kepindahan ini?' batinku.

Kupaksakan otak untuk bekerja keras dengan apa yang kulihat dan rasakan saat ini. Berusaha mengingatnya sampai kepalaku terasa pusing. Kupegang kepalaku kini yang kupaksa untuk mengingat kejadian yang mungkin kulupa.

Tiba-tiba aku terdiam kaku dengan apa yang ku hirup sekarang.

'Aroma ini...aroma ini...' batinku cemas.

Ini wangi yang kucium saat membawa jas di kamar 1503. Wangi ini milik pria yang kulihat tadi malam dan selalu ku ingat sejak kejadian itu.

'Tidak mungkin' kata batinku lagi.

"Apa kau sudah mendingan sekarang?" tanya seseorang yang kuyakin bukan ketiga sahabatku.

"Apa perlu kupanggilkan dokter?" tanyanya kembali karena aku hanya diam.

Kubalikkan badanku dan kulihat seorang pria tinggi tampan dan putih berdiri di samping ranjang dengan wajah cemas. Ya, dia terlihat cemas. Nampak sekali di wajahnya.

Aku kaget dengan apa kulihat sekarang. Tiba-tiba ku ubah posisi dan kini bersandar di kepala ranjang.

"Dimana aku sekarang?" hanya itu yang keluar dari mulutku karena shock dengan apa yang dia lihat sekarang.

"Jawab dulu pertanyaanku..." katanya tidak peduli dengan apa yang kutanyakan barusan.

"Dimana aku sekarang???" tanyaku kembali dan kali ini nada suaraku mulai naik.

"Ternyata kamu masih belum berubah juga, ya sha..." katanya sambil menggeleng kepala.

"Apa maksud kamu?" dahiku mulai mengernyit ditambah dengan tatapan tajam.

"Ini dia... mata yang super duper tatapannya... Memang gak salah yang kulihat kemarin. Kamu gak jau beda sama 10 tahun yang lalu. Keras kepala, gak mau ngalah dan yang kusuka adalah tatapanmu ini, Sha." katanya sambil duduk di ranjang, di sampingku tepatnya.

Kutarik tubuh ini untuk sejauh mungkin darinya masih dengan tatapan tajamku.

'Tapi tunggu.. apa dia bilang namaku barusan?  Sha? apa aku tidak salah dengar?' kataku dalam hati.

Four SeasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang