Cakka melajukan motornya membelah jalanan ibu kota. Rumah Dea akan dicapainya dalam sepuluh menit lagi, namun sesuatu -tepatnya seseorang- di pinggir jalan membuatnya menghentikan motor lebih cepat.
Cakka melepas helm-nya lalu turun. Dihampirinya seorang gadis yang tengah terduduk di trotoar dengan pandangan kosong.
"Ify?" sebut Cakka tak yakin.
Gadis itu mendongak dengan wajah sembap yang kentara. Matanya masih berlinang air mata kala Cakka menariknya berdiri.
"Ngapain lo duduk di sini kaya gelandangan?" tanya Cakka sarkastis, namun dengan nada lembut. Ia menatap Ify yang telah ia dudukkan di motornya.
Ify masih sesenggukan sesekali. "Temen lo tuh!! Hhh.."
"Kenapa? Gabriel? Alvin? Rio?"
"R-Riooo! Sialan, gue di ting-"
"Halo?"
Cakka menjauh dengan sedikit panik begitu ponselnya berdering. Ia meninggalkan Ify yang berseru sebal di atas motornya. Bagi Cakka, ada hal yang lebih penting saat ini, karena peneleponnya adalah Alvin.
"Ca-akk.. E-Elvian keluar. Tolong.."
Cakka menggeram begitu kalimat itu terlontar dari bibir Alvin di seberang sana. Urusan Dea langsung terlupakan begitu saja, yang ia pikirkan saat ini hanyalah kedua sahabatnya itu.
"Gue lagi sama Ify.. Dia lagi sedih, gue nggak mungkin tinggalin dia gitu aja. Gimana, Al??" tanya Cakka dengan nada frustasi. Diusapnya rambut merahnya hingga berantakan.
"Y-ya, lo bawa Ify aja. Hhh... Gab ngga bakalan marah, ta-pi lo cari alasan yang bagus supaya dia ngga bingung."
"Yaudah deh, gue ke sana sekarang."
Tut. Sambungan telepon terputus, bersamaan dengan kembalinya Cakka ke hadapan Ify.
"Lo ikut gue dulu aja, ya, ntar gue anter balik," ucap Cakka sebelum Ify sempat bersuara. Cakka begitu panik. Segera, dikendarainya motornya itu membelah jalanan ibukota, bahkan tanpa menunggu respon Ify.
Ify menghela nafas lelah. Tidak Rio, tidak Cakka. Mereka berdua sama-sama seenaknya. Yanh satu menurunkan Ify di pinggir jalan, satunya lagi membawanya entah kemana! Herannya, Ify mau menurut pada mereka.
***
"Di dalam ada kembarannya Gabriel yang lain, namanya Elvian. Yang ini identik sama Gabriel, beda dengan Alvin. Lo jangan kaget karena Elvian agak autis."
Sudah. Cakka hanya mengatakan tiga kalimat panjang itu sebelum berlari kecil meninggalkan Ify yang masih mematung di depan pintu.
"Yak Cakka! Tinggalin aja gue terus!!" dumel Ify sebelum menghentakkan kakinya memasuki rumah itu. Rumah Alvin dan Gabriel.
Rumah itu terasa kosong dan tak berpenghuni. Bahkan Cakka tidak nampak di mana pun. Ify mulai melangkah lebih dalam ke ruang keluarga, di mana kekacauan kecil jelas terlihat di sana. Ify ingin melangkah lebih dalam lagi, namun ia sadar jika perbuatan itu tidak sopan. Maka, Ify memutuskan berhenti dan mulai memanggil Cakka.
"Cakka?... Cak?"
"Hei, kamu siapa?"
Ify tersentak. Perlahan, ia menoleh ke belakang. Gabriel tersenyum padanya dengan wajah polos, membuat Ify balas tersenyum. Kemudian ia mengangkat alis begitu mengingat pertanyaan Gabriel tadi. Kok Gabriel nggak tau gue, ya? batin Ify.
"Di dalam ada kembarannya Gabriel yang lain, namanya Elvian."
Segera, Ify menyimpulkan bahwa di hadapannya saat ini adalah Elvian. Tapi, Elvian tidak terlihat autis seperti kata Cakka tadi?
"Hey, you must be Elvian. Kenalkan, aku Ify." Ify mengulurkan tangannya, memutuskan beraku-kamu mengikuti gaya bahasa Elvian tadi.
Elvian menatap Ify dengan pandangan ingin tahu, sebelum membalas jabat tangan itu sambil tersenyum lebar. Sungguh polos seperti anak kecil.
"Hai Ify! Ayo ke dapur, aku buat resep rahasia lho..."
Ify menurut saja saat Elvian menyeretnya ke dapur. Bahkan saat lelaki itu menyodorkan sepiring makanan pun Ify menerimanya. Namun saat harus memakannya?
"Ini apa, Elvian?" tanya Ify sambil bergidik jijik. Pasalnya, penampilan fisik makanan itu benar-benar menjijikkan. Namun Ify tidak tega mengatakannya pada Elvian yang tersenyum riang.
"Kue tomat dengan saus coklat keju," jawab Elvian dengan bangga bak seorang koki yang berhasil menciptakan menu baru.
Ify baru saja ingin muntah membayangkan rasanya saat seseorang tiba-tiba menarik kasar piring itu.
"ELVIAN!!"
Elvian langsung mundur ketakutan. Ditatapnya Cakka yang baru saja berteriak itu dengan sorot horor.
"C-Cakka, jangan teriak gitu. Dia takut," bisik Ify.
"Gue bawa dia ke kamar dulu. Lo tunggu di ruang tamu, Alvin bakal nemuin lo disana," ucap Cakka tanpa memedulikan bisikan Ify itu. Segera, ia menyeret Elvian paksa dan membawanya keluar dapur. Ify bahkan masih terlalu syok untuk bergerak. Ia masih ada di dapur, tidak menuruti perintah Cakka tadi.
"Hai, Ify.. Maaf membuatmu ada dalam situasi ini."
Suara itu menyadarkan Ify. Segera ia memutar badan, menatap Alvin yang tampak sedikit lemas dengan kaos kedodoran di tubuhnya.
"Oh, hai, Al. Kembaran lo yang itu unik," sapa Ify sambil mengedik ke arah masakan Elvian tadi. Alvin segera mendekat, lalu berlagak mual.
"Iuh, ini harus dibuang. Bahkan dia sendiri bisa mual kalau lihat makanan ini," sungut Alvin sambil membuang makanan itu ke tempat sampah.
"Lo mau minum apa, Fy? Ambil aja di kulkas. Gelasnya ada di sana, gue tunggu di ruang tamu."
Ify melongo sekali lagi, mengiringi langkah Alvin yang keluar dari dapur. Ya ampun, sahabat-sahabat itu memang sama saja! Hobi meninggalkan! Pantas saja mereka bersahabat.
***
"Dia udah tidur."
"Thanks God," ucap Alvin, membalas Cakka. Ia melirik Cakka yang baru saja duduk di sampingnya dengan pandangan berterima kasih.
"Ayo, gue antar lo pulang," ajak Cakka pada Ify.
"Eh, lo duduk aja dulu sebentar. Gue ngga apa kok," balas Ify. Ia tersenyum meyakinkan.
"Wah.. Bilang aja lo senang ya, ada di rumah ini? Basecamp kami?" ledek Cakka.
Pipi Ify langsung bersemu merah. "Nggak kok, enak aja. Gue kasihan sama lo, haha... Lagian mana gue tau kalo ini tempat ngumpul kalian."
"Wah, gue tersanjung kalo gitu. Tapi serius nih, lo harus pulang sekarang."
Kini nada suara Cakka terdengar seperti memerintah. Apalagi setelah ia melirik jam dinding, hari telah makin malam rupanya. Ify pun pasrah. Ia segera berpamitan pada Alvin, menitipkan salam untuk Elvian, lalu mengekori Cakka yang telah keluar lebih dulu.
Sekali lagi, Ify berboncengan dengan Cakka.
KAMU SEDANG MEMBACA
BACK HOME
Teen FictionBagaimana jika seorang pengidap Double Identity Disorder dan pengidap lemah jantung adalah sepasang saudara kembar? Bagaimana jika mereka berteman dengan seorang perfeksionis dan seorang yang super slengean dan tak peduli aturan? Apa jadinya jika me...