Tiga Puluh Delapan

570 30 2
                                    

Keadaan sangat kacau. Dana dan istrinya segera melapor ke satpam setelah memanggil Kiki untuk mengawasi Gabriel. Via dan Shilla masih terpaku setelah bertemu Logan lima menit yang lalu, juga setelah menyadari bahwa Alvin diculik entah untuk alasan apa.

Namun, rekaman CCTV tak dapat menunjukkan apapun, seolah Alvin lenyap begitu saja.

***

"Lima belas juta? Kamu itu ngapain saja membutuhkan uang segitu dalam waktu semalam, hah?!"

Cakka memejamkan matanya begitu teriakan itu terdengar. Bahkan ia baru saja melangkah masuk ke rumah! Lima detik kemudian, Cakka kembali membuka mata dan mengedarkan pandang.

"Lima belas juta, kamu minta segala fasilitasmu ditarik?!"

Ketemu. Derek Hansel berdiri di ujung tangga lantai dua dengan aura membunuh yang sudah biasa Cakka dapatkan. Cakka memilih berlalu, memasuki dapur. Derap kaki menuruni tangga segera terdengar kemudian.

"Akan saya ganti lima belas juta itu."

Suasana hening untuk beberapa saat, hingga Derek tertawa nyaring.

"HAHAHAHA!! Kamu?!! Mengganti lima belas juta?!! Uang kehidupanmu pun masih saya tanggung, Cakkadila!"

Cakka tak lagi membalas, ia memilih duduk diam.

***

"Makasih udah nganterin gue," ucap Ify setelah mobil Rio berhenti di depan rumahnya.

Rio mengangguk, lantas membuka kunci pintu. "Fy.."

"Hm?"

"Pake aku-kamu dong kalo ngobrol sama gue."

Ify segera memelototi Rio, memastikan pendengarannya tak salah.

"Gue? Pake aku-kamu ke lo? Lo ngelindur, ya? Gue aja geli meragainnya," gidik Ify. Gadis itu segera membuka pintu dan menurunkan satu kakinya.

Greb.

Ify menoleh kembali ke Rio.

"Oke, oke. Lupakan yang tadi. Lo istirahat ya."

Kemudian, Rio melepaskan tangan Ify dan Ify pun berlalu. Meninggalkan Rio yang mengamati dalam diam, sambil tersenyum manis.

***

Sepulang dari rumah Ify, Rio mampir sebentar ke warung soto. Perutnya yang keroncongan memaksa Rio berhenti sebentar. Ponselnya yang kehabisan baterai ia tinggalkan di dasbor mobil.

"Lengkap satu, mang."

Tak perlu menunggu lama, semangkuk soto telah terhidang di depan Rio. Ia segera memakannya dengan lahap, terutama karena dirinya sendiria. Sungguh aneh rasanya. Harusnya tadi Rio mengajak Ify saja...

"Hei, barusan ada pasien hilang dari rumah sakit!"

Samar - sama telinga Rio mendengar suara itu. Rio pun menajamkan telinganya sambil menyendok soto perlahan.

"Kasihan banget. Emang dia orang penting?" tanya seorang gadis yang duduk di diagonal samping meja Rio.

"Katanya orang biasa. Nggak ada motif gitu deh..."

"Aneh banget. Tapi orangnya tampan, ya?" bisik gadis tadi seraya memperhatikan sesuatu di ponselnya. Temannya ikut mengintip.

"Iya, putih banget lagi. Alvin Jonathan Pradana?"

DEG.

Jantung Rio berdegup kencang mendengar nama itu. Kuah soto-nya sampai meloncat keluar dari mulutnya.

"Sial," gumam Rio. Ia segera menghampiri gadis itu dan menanyakan berita yang mereka bicarakan tadi, lalu menggeram marah saat melihat foto Alvin.

Rio langsung berjalan keluar dengan wajah merah padam. Tangannya merogoh dompet sambil mengeluarkan selembar lima puluh ribu yang ia serahkan secara langsung pada si kasir.

"Ambil semua!" suruhnya tanpa menoleh.

***

"Kita bukan keluarga milyuner. Bukan juga pejabat atau orang penting lainnya. Kenapa Alvin diincar?"

Dana segera mengelus pundak istrinya yang bergetar. "Tenanglah.. Sekarang Gabriel butuh kita.."

Kemudian, Dana memilih pergi dan mencari lokasi putranya yang satu lagi. Tapi yang ia temukan justru kedua temannya yang masih berwajah syok.

"Via? Shilla? Dimana Gabriel?"

Via dan Shilla segera menunjuk satu arah. "Om, Gabriel kenapa? Dia seolah seperti ingin membunuh hidup - hidup saat berlari kencang tadi."

Dana menghela nafas perlahan. "Ayo ikut. Om akan jelaskan sambil mencari Gabriel."

Via dan Shilla segera menurut. Bertiga, ketiganya melangkah beriringan.

"Gabriel punya sejenis trauma saat kecil. Hal itu membuat dirinya memecah memori ke beberapa bagian, gunanya untuk menghalau agar perasaannya tidak tersakiti."

"Apa itu... Penyakit kepribadian ganda?"

"Salah, Shilla. Itu kelainan, bukan penyakit," Dana tersenyum singkat, "Tapi benar. Yang tadi marah itu namanya Logan. Kerjanya memang hanya menyimpan dan melampiaskan amarah Gabriel. Makanya sosok Gabriel akan kalian kenal sangat tenang dan berwibawa. Om tidak menyangkal itu."

Shilla mengangguk paham. "Dulu Gabriel pernah marah besar di kelas."

Shilla dan Dana tak sadar jika Via telah menghentikan langkahnya sejak keterangan pasti tentang Gabriel ia ketahui. Jadi, dugaannya benar. Gabriel memang mengidap kepribadian ganda. Ia menggeleng pelan, berusaha mencerna kenyataan.

"OM DANA!!"

Via kembali ke realita saat mendengar seruan Rio. Lelaki itu muncul dari arah depan sambil terengah - engah.

"Om Dana," panggil Rio lagi setelah tiba tepat di hadapan Dana juga Shilla. Via segera menyusul. "Alvin.."

"Iya, kami sedang mencarinya. Logan juga muncul, jadi dia juga hilang."

Rio mendesah kasar, lantas membuka ponselnya. Ia menekan satu tombol dan langsung berbicara, "Cakka! Kesini! Alvin hilang!"

"Rio, ngga apa kok kalo Cakka ngga di sini," sela Dana tak enak. Namun Rio tak menghiraukannya, malah pergi ke arah kedatangannya tadi. Dana menghela nafas sekali lagi.

"Sebenarnya, kalau Rio dan Cakka sudah turun tangan, pasti akan beres. Om percaya pada mereka berdua sama besarnya seperti Om percaya pada polisi."

Via dan Shilla tak dapat lagi berkata-kata. Kini mereka hanya berharap yang terbaik untuk lelaki pucat yang telah menjadi teman mereka itu.

***

Saat Cakka datang satu jam kemudian, suasana sudah lebih tenang. Gabriel telah kembali, meski ia sendiri masih syok dan berkali-kali menunjukkan reaksi untuk kembali menjadi Logan.

"Gab, lo jangan pergi," pesan Cakka. Tangannya sibuk mengetik-ngetik di ponsel dan sesekali menempelkan ponsel itu di telinga. "Vi, Shil, titip Gabriel. Lo tekan tombol darurat kalo dia pergi. Usahain jangan sampe pergi. Gue mau ngurus orang suruhan gue dulu."

Via dan Shilla hanya mampu mengangguk sembari melihay kepergian Cakka dari kamar rawat ini. Yah, setidaknya hanya ini yang bisa mereka lakukan untuk membantu selagi kedua orangtua si kembar sibuk mencari juga bersamaan dengan Rio dan Cakka.

"Serius, gue ngga tahu kenapa Alvin sampe diculik segala?" gumam Gabriel. Ia menekuk kakinya dan menyimpan kepala di sela kedua lutut. "Dulu gue, sekarang Alvin."

Via dan Shilla membelalakkan kedua mata mereka.

"L- lo pernah diculik?" tanya Shilla tergagap. Ia sampai lupa membenarkan letak kacamata-nya yang melorot.

Gabriel mengangguk pelan. Kemudian ia menatap Via dan Shilla bergantian seolah ingin berbagi.

"Gue..."

BACK HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang