Empat Puluh Tiga

348 23 0
                                    

"Semua cewe itu kasih gue kasih sayang, Gab. Kalo kalian bertiga kaya papa gue, mereka mama gue."

***

Hari-hari berikutnya tak terasa berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Malah, terlihat lebih bahagia.

"Rio, ayo dong sekali-kali jalan-jalan keluar gitu?" rayu Ify. Rio meliriknya sekilas lalu menggeleng perlahan dan fokus kembali pada buku di hadapannya.

"Besok lusa ada PR Kimia 40 nomor. Kamu ngga mau nyicil?" tanya Rio. Terdengar sedikit meremehkan, membuat bibir Ify manyun. "Besok kamu juga les musik. Lalu kapan kamu buat PR?" lanjut Rio, yang membuat bibir Ify makin manyun. "Jangan manyun! Mau gue cium?"

"RIOOO!"

Untungnya perpustakaan sedang sepi. Jika tidak, dipastika berpasang-pasang mata sudah menatap kedua insan itu dengan tatapan membunuh sekarang.

Sedikit jauh dari mereka, Keke dan Shilla duduk berhadapan dibatasi sebuah buku tebal tentang penyakit dalam. Shilla membuka buku itu tepat di halaman pertama mengenai penyakit jantung.

"Al, gue boleh jujur nggak?" tanya Shilla malu-malu. Ia menunduk dalam hingga kacamatanya hampir merosot. Untungnya Alvin mengatakan 'iya'. "Jujur aja..."

Alvin diam, membiarkan gadis di sampingnya berucap. Namun Shilla tak kunjung bicara, jadi ia memilih merogoh saku dan mengeluarkan beberapa pil. Ia menelan mereka satu per satu dengan bantuan air mineral, lalu beralih menatap Shilla lagi. Shilla langsung memalingkan wajah dengan malu lantaran kedapatan tengah menatap Alvin cukup intens.

"Ada apa? Bisa gue bantu?" tanya Alvin. Ia mulai merasa canggung dengan keheningan ini.

"A- Al.. Sebenernya, g- gue.. S- suk..."

"Lo suka sama gue?" tebak Alvin tepat sasaran, terbukti dari pipi Shilla yang langsung memerah sempurna. "Shil-"

"Gue tau lo sukanya sama Keke. Gue cuma mau bilang biar lo tau aja, ngga minta dibales," kata Shilla cepat, tanpa menatap mata Alvin. Ia memilih menatap pepohonan di area taman belakang itu.

Alvin tak tahu harus apa.. Seumur hidup, belum pernah ada yang menyatakan perasaan padanya.

"Boleh, gue bantu lo deket sama Keke? Gue sedih lihat lo sedih kalau Keke sama Cakka." Entah keberanian dari mana, Shilla mengatakan hal ini begitu saja.

Alvin hanya mengangkat alis, menyuruh gadis itu melanjutkan ucapannya.

"Tapi untuk itu, Keke harus tau dulu tentang penyakit lo.. Semua hubungan harus dimulai dengan landasan kejujuran," ujar Shilla sambil menorehkan sebuah senyum. Senyum manis, namun tak membuat hati Alvin berdebar.

"Kenapa dengan buku ini?" tanya Keke. Ia merasa aneh sejak Shilla mengajaknya bicara berdua saja. Selama beberapa bulan ini, jelas Keke tahu Shilla bukan tipe pembicara. Shilla pendengar, seperti dirinya.

Shilla tak langsung menjawab. Beberapa kali ia menghela nafas dan membenahkan kacamatanya yang tak melorot. Ia meneguk ludah beberapa kali sebelum berujar, "Sakit jantung. Dia sakit jantung," ucapnya dengan volume rendah. Tapi Keke masih mendengarnya.

"Siapa?"

"Alvin."

***

Malamnya, Keke tak bisa tidur. Pukul 12 tepat, namun mata Keke masih terbuka sempurna.

Alvin sakit jantung.

Kalimat itu terus berputar di benaknya usai kunjungan di perpustakaan bersama Shilla. Setelah itu, ia tidak bisa lagi melihat Alvin dengan cara yang sama. Tapi, Alvin masih melihatnya dengan cara yang sama. Keke jadi merasa canggung.

BACK HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang