Dua Puluh Tujuh

578 20 0
                                    

Ini hari kedua setelah kunjungan Keke, Ify, dan Shilla ke rumah sakit. Hari ini, Ify berniat menengok sendiri Alvin dan Gabriel, karena kedua lelaki itu belum masuk sekolah. Kakaknya sudah menanyakan perihal keabsenan Gabriel, yang menyebabkan mereka belum bisa rapat Pensi lagi. Itu juga tujuan Ify menjenguk mereka, karena kedua temannya itu sama sekali tidak membalas pesan di ponsel mereka. Kebetulan hari ini Keke dan Shilla berhalangan. Ify mendengus.

"Hati - hati ya, Fy!" pesan Keke seraya melambaikan tangan. Ia naik ke ojek online pesanannya, lalu segera berlalu setelah melihat Ify mengacungkan ibu jari.

Tinggallah Ify sendiri karena Shilla masih di perpustakaan, sedangkan Via sudah pulang lebih dulu. Ify menghela nafas, ia berjalan menuju halte Trans Jakarta yang hanya beberapa langkah dari sekolahnya. Tepat waktu, bus yang ia tunggu tiba beberapa menit setelah ia diam di halte. Ify pun naik dan duduk di salah satu kursi yang masih kosong.

Setelah beberapa saat, akhirnya Ify tiba di halte terdekat dengan rumah sakit. Ify bergegas naik ke ojek online pesanannya tadi, karena jarak halte menuju rumah sakit masih agak jauh. Malas sekali kalau harus jalan kaki di suasana yang sangat terik seperti ini. Butuh waktu dua belas menit hingga Ify tiba di rumah sakit. Gadis tirus itu segera menuju ruang rawat Alvin dan Gabriel.

Tok.. Tok.. Tok..

Cklek.

"Eh, kamu?"

Ify menelengkan kepala mendengar sebutan Gabriel. Kamu?

Tapi ia menurut saja saat Gabriel menarik tangannya memasuki ruang rawat. Ify mengedarkan pandang saat melihat Alvin melempar senyum padanya.

"Hai, Al. Udah sehat?"

Alvin mengangguk, lalu menyuruh Ify mendekat bersamaan dengan Gabriel yang menarik lengan Ify. Ify jadi bingung harus kemana.

"Gabriel aja," senyum Alvin. Ify mengernyit mendengar perintah itu, namun akhirnya menurut. Gabriel rupanya menarik Ify menuju kasurnya sendiri, di mana ada buku mewarna dan beberapa pensil warna berserakan. Ify merasa aneh, karena setahunya Gabriel tidak suka mewarnai.

"Kamu warnai ini," tunjuk Gabriel pada bukunya dengan binar mata polos. Ify mengerutkan kening. Gabriel polos? Hmm...

"Elvian?"

Gabriel -yang sekarang Elvian- mengangguk semangat sambil menunjuk dirinya sendiri. Ify segera menoleh ke Alvin dengan bingung. Yang ditatap tersenyum ringan.

"Iya, itu Elvian. Gue kagum lo masih ingat dia," tutur Alvin.

"Y- ya ingetlah. He's funny."

Alvin mengangguk membenarkan. Elvian memang lucu, jika tidak sedang berulah aneh - aneh. Akhirnya, Ify kembali menatap Elvian. Gadis itu memutuskan untuk menemani Elvian mewarnai.

Tengah asyik mewarnai, Rio masuk bersama seorang berjas dokter. Rio memilih duduk di sofa setelah berjengit kaget melihat Ify, sementara si dokter mendekati Gabriel.

"Itu Elvian," ucap Alvin sebelum si dokter sempat memanggil kembarannya itu. Si dokter mengangguk.

"Elvian?" panggil si dokter, ditanggapi Elvian dengan mata membulat. Elvian bergegas mencengkram tangan Ify kuat - kuat.

"I- Ify, itu siapa?"

Sontak Alvin, Rio, dan si dokter membulatkan mata dengan terkejut. Alvin memang sudah heran karena tadi Elvian menyambut Ify dengan hangat sementara dengan dirinya saja Elvian tak mau menatap.

"Itu dokter, Elvian. Dokternya mau periksa... Alvin?" Ify meminta pembenaran dari si dokter. Namun Sion, dokter itu menggeleng.

"Saya mau periksa Elvian. Bisa kamu bantu saya, emmm... Ify?" Sion menyebut nama Ify setelah membaca gerakan bibir Alvin.

Ify segera mengangguk dengan bingung. Untuk apa juga ia membantu? Ia kan tidak jago pelajaran, apalagi ini tentang kesehatan pasien betulan!

"Saya minta kamu berkomunikasi dengan Elvian. Kamu tanyakan apa yang saya tanyakan ke dia," perintah Sion sambil membuka catatannya, melihat kebingungan Ify. Alvin dan Rio memperhatikan dalam diam.

"O- oke.."

Meski Ify tak suka dengan nada memerintah, tapi karena Sion adalah dokter Ify tak sanggup menolak.

"Siapa saja orang - orang yang Elvian kenal?"

Ify mengulangnya tepat sesuai nadanya.

"Ify dan Sova," jawab Elvian dengan binar lucu.

Sion, Alvin, dan Rio segera mengernyit. Sova? Nama baru itu bisa jadi nama kepribadian baru Gabriel.

***

"Seharusnya lo ngga perlu antar gue pulang."

Rio yang berjalan di samping Ify tak menjawab.

"Lo kembali saja ke kamar Alvin," lanjut Ify tak mau menyerah.

"Berisik."

Ify segera mengerucutkan bibir. Ya sudahlah, lumayan irit ongkos. Tapi jangan sampai Rio meninggalkannya lagi di pinggir jalan. Ify mengutarakan pikirannya itu pada Rio.

"Lo pikir gue cowok apaan?"

Ify tak membalas, bibirnya masih mengerucut. Pandangannya ia alihkan ke luar jendela. Namun sedetik kemudian, pandangan Ify kembali pada sosok Rio.

"Yo, kenapa dokter tadi minta bantuan gue?"

Ify menunggu hampir sepuluh menit demi mendapat jawaban.

"Elvian kenal sama lo."

Alis Ify terangkat. "Kan kenal sama lo dan yang lain juga..."

"Berisik."

Sekali lagi Ify mendelik sebal mendengar jawaban andalan Rio itu. Nadanya sangat bossy dan memerintah. Ify tidak menyukainya.

"Bisa ngga sih nada lo lembut sedikit gitu? Lo kalo ngomong nada lo memerintah mulu. Emang lo presiden apa," celoteh Ify tanpa sadar. Saat sadar, Ify segera menutup mulutnya dengan tangan dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

Di samping Ify, wajah Rio mengeras.

***

"Jadi gimana, Fy?"

Ify menelengkan kepalanya ke arah Via. Mereka berdua kini telah memakai piyama masing - masing dan sedang berada di kamar tidur Ify. Pajamas party berdua.

"Gimana apanya?"

"Tadi lo nengok Alvin dan Gabriel."

"Gabriel nggak ada, cuma Alvin aja," sebut Ify berbohong. Entah mengapa ia melakukan itu. Dan Via tampak percaya.

"Kalo gitu gue nengok Alvin deh.."

"Eh, nggak usah, nggak usah!"

Ify kalang kabut menggerakkan tangannya di depan wajah Via. Ia menatap panik, membuat Via curiga ada hal yang disembunyikan sahabatnya itu. Via menanyakannya.

"Ngga kok, ngga apa," ucap Ify sembari menenangkan nafasnya. "Udah ayo ah tidur. Ngantuk gue."

Via pun terdiam, namun akhirnya mengangguk. Sikap Ify malam ini agak janggal. Biasanya, Ify kan lebih ramai... Namun Via tak ambil pusing. Ia percaya sahabatnya itu akan selalu jujur padanya. Via pun menyusul Ify ke tempat tidur. Mereka segera terlelap.

Padahal Ify tidak terlelap. Setelah memastikan Via tidur, Ify mengendap keluar kamar. Ia bertemu Septian yang sedang meminum kopi di dapur.

"Kak," sapa Ify pelan. Septian langsung membalasnya dengan sedikit mengangkat gelas kopinya.

"Aku lagi revisi proposal Pensi yang udah disusun Gabriel seminggu yang lalu. Lusa harus masuk ke Kepala Sekolah," jelas Septian langsung, saat melihat gelagat Ify ingin menanyakan alasannya meminun kopi. Adiknya itu memang tak mengizinkannya minum kopi tanpa alasan.

Ify pun mengangguk meski tak setuju kakaknya begadang demi proposal itu. "Semangat ya, Kak, dan by the way, jangan sampe apa yang aku ceritain ke kakak bocor ke Via ya. Aku tau kakak suka sama Via."

Septian termangu, dan akhirnya mengangguk pelan sambil menyeduh kopinya. Fakta yang baru diucapkan Ify itu cukup membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Hebat.

BACK HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang