Dua Puluh Sembilan

561 34 0
                                    

Cakka kembali ke UKS lima belas menit kemudian. Dan mulut Cakka terbuka sempurna saat melihat kondisi UKS kini. Mata Cakka berulang kali mengerjap tak percaya.

Gabriel, maksudnya Elvian- lelaki itu tengah duduk di lantai yang telah dibanjiri cairan sambil menggerakkan jarinya di lantai seolah sedang menggambar. Di sekelilingnya, beberapa puluh butir obat mulai larut sehingga warna cairan jadi nampak bergradasi.

Padahal, cairan itu.... Cakka melirik botol berwarna hijau di samping Elvian. Minyak kayu putih.

"Damn! Elvian, shit!"

Cakka segera menghampiri Elvian setelah meletakkan mangkuk kolak pisang dengan hati-hati di meja dekat pintu, lalu menarik bocah raksasa itu agar berdiri. Cakka segera mendorong Elvian ke sudut yang kering, sementara dirinya sendiri mengambil lap pel.

Sesaat kemudian, Cakka termangu. Ia tidak tahu cara mengepel.

***

Pelajaran tengah berlangsung. Sesekali Via melirik empat meja di sudut belakang, keempatnya kosong. Via merasa bingung, mengapa juga Gabriel berteriak ketakutan sampai pingsan hanya karena melihatnya?

Kemudian, Via melirik Ify di sampingnya. Gadis itu tampak bergerak gelisah di tempatnya, dengan ponsel di tangan.

"Kenapa, Fy?" bisik Via.

"Cakka minta gue ke UKS," bisik Ify balik, namun membuat Via mengernyitkan alis. Untuk apa pula Cakka meminta Ify menemuinya?

"Gue izin deh," putus Ify. Ify pun berdiri. Ia izin ke toilet. Via melepas kepergian sahabatnya itu dengan tatapan bertanya.

Di luar kelas, Ify langsung berlari ke arah UKS. Ponselnya kembali bergetar tanda Cakka masih terus menghubunginya. Entahlah, tapi Ify tak ingin membuat Cakka menunggu lama sehingga dalam lima menit, Ify telah tiba di UKS. Herannya, pintu UKS terkunci.

"Ih, ini Cakka ngerjain gue apa. Awas aja lo, Cak," dumel Ify seraya berniat berbalik. Namun gerakannya terhenti kala pintu UKS terbuka, menampakkan kepala berambut merah mengintip dari baliknya.

"Astafighurlah!"

Cakka membuka pintu sedikit lebih lebar saat menyadari bahwa orang di luar itu Ify. Ify masuk sambil mendumel sebal.

"Lo ngintip - ngintip emangnya lo lagi berbuat asusila apa?!"

"Ngga kok ngga.. I- itu, Fy.." gagap Cakka, "P- pel."

"Pel?"

"Gue ngga bisa ngepel," tunjuk Cakka pada genangan minyak kayu putih di lantai. Seketika, Ify memutar bola matanya kesal.

"Gue kira apa, taunya..."

"Ayolah, Fy, bantu gue," ujar Cakka dengan wajah memelas. "Gue minta lo karena lo tau Elvian."

Dengan segera Ify mengernyitkan keningnya dengan bingung. "Memangnya Elvian ada di sini?"

Pertanyaan itu membuat Cakka sedikit gelagapan, namun akhirnya si rambut merah itu menunjuk kasur, di mana sesosok lelaki tengah tertidur. Itu Gabriel. Atau Elvian. Ify bingung.

"Ayo, ya? Please, lo pel lantai ini ya?"

Tak ada alasan bagi Ify untuk menolak, meski ia masih bingung dengan apa yang sedang terjadi. Hanya saja... Cakka terus menatapnya dengan mata imut, sehingga Ify tak tahan. Cakka menghela nafas lega sesaat setelahnya, lalu ia asyik memperhatikan Ify mengepel.

***

Hingga pulang sekolah, benak Ify masih bertanya - tanya perihal kehadiran Elvian di sekolah tadi. Sayang ia tidak bisa menceritakannya pada Keke, Via, maupun Shilla karena ketiganya tidak mengenal Elvian.

"Ify, gue titip Alvin, ya?"

Ify mengangguk singkat seraya melepas kepergian Gabriel. Sosok yang tadi pagi berteriak histeris di kelas, sosok kembarannya Elvian. Gabriel yang berwibawa sang wakil ketua OSIS telah kembali.

"Gitu amat lihat Gabrielnya. Gab tampan, ya?"

Plak.

"Awww.. Sakit, Fy," ringis Alvin usai Ify menabok lengannya.

"Ya lagian elo ngagetin gue segala," dengus Ify. "Biasanya elo nunggu Gabriel di mana?"

"Di perpus," jawab Alvin cepat. Benaknya langsung mengarah pada Shilla lantaran dua kali ia menunggu Gabriel, ia bersama gadis itu.

"Ya udah kita ke perpus aja. Lumayan, ada AC," ajak Ify seraya menarik Alvin. Alvin diam saja ditarik Ify dan Ify pun tak risih, jadi mereka tetap bergandengan tangan hingga tiba di perpustakaan.

Setiba di perpustakaan, barulah Ify melepaskan tangan Alvin. Gadis itu bergegas menuju rak novel, sementara langkah Alvin membawanya ke area buku Biologi.

Dan tepat seperti harapannya, di situlah Shilla berdiri. Jemari tangan kanannya sibuk membelai ujung buku, mencoba menentukan buku mana yang harus ia ambil. Dan saat telah menemukannya, senyum Shilla merekah lebar. Alvin memperhatikan itu semua.

"Loh, Alvin?"

Sontak Alvin memberikan senyum pada Shilla- yang masih kaget mendapati ada Alvin di hadapannya.

"Ilmu Penyakit Jantung?" eja Alvin pada sampul buku Shilla. Shilla bergegas mengangguk.

"Gue ingin kenal lo lebih dekat," ungkap Shilla jujur. Kemudian, gadis berkacamata itu melangkah melewati Alvin. Ia menuju counter untuk mendaftarkan buku itu. Alvin menyusulnya.

"Nggak baca di sini dulu? Ada Ify juga lho."

"Nggak. Gue ada yang harus dikerjain di rumah."

"Shilla, lo di sini juga?"

"Eh, Fy. Iya nih, pinjam doang ini mau pulang," ucap Shilla setelah tersenyum pada Ify. Shilla segera menyimpan bukunya, lalu melambai pada Ify dan Alvin. "Duluan ya, Fy, Al!"

"Dia itu dekat tapi jauh," gumam Ify sambil melambai pada Shilla. Setelahnya, gadis itu memilih duduk di kursi dengan novel di depannya. Alvin segera menyusul dengan duduk di hadapannya.

"Al, menurut lo, Shilla gimana?"

"Hah? Y-ya, dia baik."

"Udah? Itu aja?"

Alvin mengangguk ragu. Benaknya langsung memutar seperti apa sosok Shilla, lalu berusaha mendeskripsikannya. Dan sebelum Alvin kembali berucap, Ify telah menanyakan hal lain.

"Lo suka sama siapa?"

Alvin langsung terbatuk mendengar pertanyaan itu. Sigap, Ify memberikan botol minumnya pada Alvin namun Alvin tak menghiraukannya. Batuknya telah berhenti.

"Emang kenapa?" tanya Alvin balik.

"Ya lo pasti ada suka sama orang dong. Gue kepo aja," jawab Ify, "Bukannya gue suka sama lo, lho."

"Ya tau dongg.. Lo kan suka sama Rio," kekeh Alvin, berhadiah cibiran manis dari Ify.

"Sembarangan lo. Ngga mungkin lah gue suka sama Rio. Dia itu pengatur, gue ngga suka sama pengatur," tutur Ify, "Lagian yang nanya itu gue. Lo jangan balik nanya gue dong!"

"Ya kan ngga penting untuk lo juga untuk tau siapa yang gue suka."

"Jangan - jangan lo itu suka sama gue, ya, makanya ngga mau ngaku?" tuding Ify. Wajahnya dibuat berekspresi tegang seolah penuh misteri. Di depannya, Alvin tertawa kecil.

"Ya udah anggap aja gitu."

"IH!! JANGAN BIKIN GUE BAPER DONG!!"

"Kan lo yang nebak gue suka sama lo."

"Tapi gue itu serius, Alvin. Kali aja kan gue bisa bantu. Gue itu lagi pingin jadi mak comblang."

Alvin terkekeh kecil. Ia menggelengkan kepalanya dengan geli, namun kemudian gerakannya itu terhenti tiba - tiba. Matanya melebar seolah baru mengingat sesuatu, seraya mulutnya bergumam, "Keke."

BACK HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang