Empat Puluh Lima

384 21 0
                                    

Koridor bangsal inap rumah sakit tampak lengang, namun tak demikian dengan UGD yang buka 24 jam.

Satu pasien saja bisa diantarkan oleh berlusin-lusin orang. Seperti Ri- oke, tak sampai selusin. Hanya 7 orang yang tengah menunggui Rio diperiksa di UGD.

"Kok cowok tahan banting macam Rio bisa pingsan sih?" tanya Ify heran. Ia sudah tenang, tak lagi terkejut seperti tadi saat mendapati Rio pingsan di hadapannya.

"Entah. Biasanya dia sehat banget tuh," ucap Cakka cuek. "Akhirnya gue ke rumah sakit untuk alasan yang berbeda!"

Lalu 6 pasang mata memandang Alvin. Lelaki kurus itu sontak menyunggingkan senyum canggung karena dilihati.

"Gue pikir juga tadi Alvin yang kenapa-kenapa. Takut banget, padahal baru beberapa hari keluar RS," balas Gabriel.

"Gue aja kaget, serius. Suara si Rio tiba-tiba keganti jadi jeritan Ify, gimana gue ngga kaget? Takut juga," sambung Shilla.

"Ya sudahlah. Toh dia cuma kecapekan aja katanya. Masuk yuk," ajak Alvin. Ia berusaha menghentikan segala obrolan yang begitu mengkhawatirkan Rio itu. Untunglah ucapannya didengarkan. Berbondong-bondong mereka memasuki ruang UGD dengan tenang.

Mereka menemukan kasur Rio berada di ujung terjauh dari pintu. Gabriel dan Cakka menyuruh Ify maju duluan, sementara yang lain di belakang. Ify menurut.

"WHAT THE HELL!!" pekik Ify, lupa bahwa ia ada di rumah sakit. Setelah ingat, ia langsung menoleh-noleh dengan tatapan meminta maaf, lalu matanya kembali tertuju pada kantung infus Rio.

Livfyna Daradita Ardanta,
Would you be my girl?

Ify mengerjap sempurna, lantas mencubit lengan Rio yang langsung mengaduh. Rio pun membuka matanya, lalu duduk dan memberi Ify tatapan permusuhan. Tangan kirinya yang ditusuk jarum infus, menunjuk ke tulisan di kantung infus itu.

"Gila lo, Yo," sungut Ify tak percaya.

"Lo ngerusak suasana romantis gue, sih?"

"Lo bikin semua temen lo panik, Mario Reynold!" ketus Ify. Lalu ia menoleh ke belakangnya dan terkejut melihat teman-temannya telah tersenyum cengengesan sambil masing-masing membawa karton dengan tulisan yang sama seperti di kantung infus, kata per kata secara berurutan. Hanya kata my diganti menjadi Rio.

Ify menatap Rio lagi, yang kini telah berlutut di hadapannya dengan membawa sebuah kotak beludru berwarna biru dongker. Di dalamnya, melingkar cantik sebuah gelang dengan bandul huruf I.

"Mau jadi pacar gue?" tanya Rio langsung tanpa memberi Ify kesempatan untuk berucap.

Tapi Ify tak bisa berucap... Lidahnya kelu, sama sekali tak menyangka akan ada adegan ini dalam hidupnya.

Rio diam saja, tetap menunggu Ify bereaksi. Ia berlutut sempurna tanpa bergerak sedikit pun, sementara teman-temannya yang lain telah menutup korden pembatas biliknya dengan pasien lain perlahan.

Sekalipun Rio tak mengalihkan tatapannya dari Ify, untung saja, sehingga Rio dapat melihat Ify mengangguk kecil secara samar. Dengan hati lega, Rio meloncat berdiri dan langsung memasang gelang itu di pergelangan kanan Ify.

"Janji, jangan bertingkah seenaknya. Gue juga ngga suka lo atur-atur gue, jadi tolong jangan posesif sama gue," ujar Ify perlahan sambil menunduk malu.

Ia jadi tak bisa melihat saat Rio melengkungan senyuman manis. "Janji."

"Lo tenang aja, Fy. Sebenernya Rio udah mulai berubah sejak deket sama lo," celoteh Cakka, merusak suasana romantis yang baru saja tercipta antara Rio dan Ify. Jadi, Rio segera melempari Cakka dengan kotak beludru itu.

"Hoy, ngelempar yang berisi dong! Masa lo kasih gue yang kosong?!" keluh Cakka sebelum melarikan diri dari bilik itu. Mereka pun terkekeh ringan menanggapinya.

***

Usai acara penembakan Rio tadi, hari sudah terlalu malam hingga mereka memutuskan untuk berpisah. Via tentu saja pulang bersama Gabriel dan Alvin, lalu Shilla juga memaksa Gabriel dengan halus agar mengantarkan Keke pulang juga. Shilla beralasan ingin menemui Dr. Agni dulu agar Rio dan Ify yang pulang bersama tak memaksanya ikut Gabriel atau ikut mereka. Salahkan saja Cakka yang menghilang dan tak kembali lagi, yang kemudian diketahui bahwa ia pergi bersama Adista.

Via duduk di depan, mengobrol santai dengan Gabriel tanpa berusaha melibatkan Alvin dan Keke di belakang. Membuat kedua manusia itu terdiam canggung, melihat pemandangan di luar jendela dalam diam.

Tak tahu saja Keke jika Alvin sesekali meliriknya, hingga lelaki kurus itu menyadari jika Keke sedikit menggigil kedinginan. Maka Alvin memutar tubuhnya dan meraih sebuah jaket tebal di kursi belakang. Lalu, Alvin meletakkannya di pangkuan Keke membuat Keke menoleh bingung.

"Pakai! Lo kedinginan, kan?" ucap Alvin, membuat Keke terkejut. "Via, tolong lo kecilin AC-nya dong," pinta Alvin yang langsung dituruti Via. Untung saja gadis itu mendengar ucapan Alvin di tengah obrolan asyiknya dengan Gabriel.

"Kok lo tahu sih?" tanya Keke sambil mengenakan jaket tebal itu di depan tubuhnya. Langsung saja, tubuhnya terasa lebih hangat. Aroma sabun cuci tercium dari jaket itu, menandakan jaket itu baru saja keluar dari lemari pakaian.

"Ah?? Engg.. Gue lihat aja," kekeh Alvin. Ia merapatkan jaketnya sendiri sebelum bertanya lagi, "Lo emang ngga tahan dingin, Ke?"

"Nggak sih, gue biasanya tahan kok. Entah kenapa gue emang ngerasa dingin tadi. Hehehe..." kekeh Keke, dibarengi seruan sebal Gabriel, "YAH MACET!!"

"Parah emang, masa jam segini masih macet?" sambung Via. Tapi baik ia maupun Gabriel tak mempermasalahkan kemacetan itu, justru cenderung mensyukurinya.

"Bagus, Via! Kita bisa bicara lebih panjang lagi!" ucap Gabriel bahagia yang nyaris terdengar seperti suara Elvian.

Via menanggapinya dengan tertawa lebar, lalu mengajak Gabriel melakukan tos.

Di belakang, Keke dan Alvib menatap mereka sambik terkekeh geli. Tak butuh waktu lama juga bagi keduanya untuk jatuh dalam obrolan hangat di tengah kemacetan itu.

***

"Dah, Keke. Selamat tidur," kata Alvin sambil melambaikan tangannya sebelum Keke membuka pintu.

"Lo juga! Gab, makasih tumpangannya. Maaf ngerepotin," senyum Keke.

"Ah, nggak masalah! Gab suka jalan-jalan kok."

Bukannya Gabriel, malah Alvin yang membalas ucapan Keke tadi, menyebabkan Gabriel turut melemparkan senyum pada Keke. Setelahnya, Keke segera turun dari mobil Gabriel itu dan melambai, menunggu mobil Gabriel berlalu.

"Kamu suka sama Keke, Al?" tanya Gabriel di detik pertama mobilnya berjalan lagi.

Kepala Alvin menyembul di sisi kiri kepala Gabriel. Kepala itu menggeleng kecil. "Kok kamu tahu?"

"Aku kembaranmu, tahu? Aku tahu kalo kamu tadi beda sama Keke. Sama yang lain kamu kayak ngga seramah itu?" terka Gabriel, disambung kekehan renyah  Alvin.

"Ya, kan? Kamu suka sama Keke? Kenapa kamu ngga cerita sama aku?"

Alvin tak menjawab, hanya terus terkekeh sambil kembali ke posisinya semula.

"Aku ngantuk. Tidur, ya. Hati-hati, Gab," pesan Alvin sebelum memejamkan matanya.

BACK HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang