Tiga Puluh Sembilan

378 26 2
                                    

"Serius, gue ngga tahu kenapa Alvin sampe diculik segala?" gumam Gabriel. Ia menekuk kakinya dan menyimpan kepala di sela kedua lutut. "Dulu gue, sekarang Alvin."

Via dan Shilla membelalakkan kedua mata mereka.

"L- lo pernah diculik?" tanya Shilla tergagap. Ia sampai lupa membenarkan letak kacamata-nya yang melorot.

Gabriel mengangguk pelan. Kemudian ia menatap Via dan Shilla bergantian seolah ingin berbagi.

"Gue..."

***

"Jadi, Gabriel udah cerita?" tanya Cakka. Kini, ia sedang bertiga bersama Via dan Shilla di kantin rumah sakit. Langit masih gelap, kantin pun sepi. Hanya kios kopi yang masih buka.

"Iya. Katanya Logan muncul karena penculikan itu, gara-gara bonyok-nya utang terlalu banyak gitu," jawab Via, setengah tak percaya. Jawabannya itu membuat Cakka mengernyit. Setahunya tidak begitu!

"Ngga, kok. Logan ngga muncul karena penculikan. Yang karena penculikan itu Okky, dia sudah melebur bersama Gaby, yang menyimpan memori masa kecilnya si Gab," ralat Cakka. Ia rasa tak ada salahnya membocorkan, toh Gabriel memang sudah mengakui keadaannya.

Shilla membenarkan kacamatanya. "Jadi, ada banyak?"

Kini, Cakka menggaruk jidatnya dengan gerakan ragu. Sebenarnya ia siap saja bercerita, namun tiba-tiba ia merasa ini salah. Tapi..

"Iya. Sekarang tinggal 3. Logan, Elvian, dan Sova. Baru."

"Elvian? Yang diceritain Ify itu? Jadi dia bukan kembaran?!" seru Via dan Shilla bersamaan. Cakka mengangguk cepat.

"Masa kecil mereka ngga seindah sekarang. Dulu bonyok-nya lebih fokus ke Alvin, Gabriel cenderung terabaikan kalau ngga ada gue sama Rio. Kami udah temenan sejak TK," jelas Cakka sambil menyeduh kopinya. "Huekkk..."

Shilla terkekeh melihat Cakka menyemburkan kopi itu keluar lagi. Tanpa kata ia sodorkan sebuah tisu yang langsung diterima.

"Wait... Jadi, jangan bilang si Elvian yang kaya anak kecil itu sifat dasarnya adalah cari-cari perhatian?" tebak Via. Sekali lagi Cakka mengangguk.

"Ya, tapi ngga pernah muncul sampai peristiwa penculikan itu. Sion juga ngga pernah kasih tau, jadi Gabriel selalu ngeduga mereka semua muncul karena penculikan. Sion psikiater-nya, sekaligus sepupu mereka berdua."

Via dan Shilla terdiam, mencoba mencerna.

"Sumpah, gue kira yang kaya gini cuma ada di film," gumam Via. "Gue udah nebak sih sejak di lapangan beberapa waktu yang lalu, tapi gue ngga nyangka aja."

"Lo udah nebak? Jangan bilang lo nolak dia karena lo ngga siap? Lo suka dia juga  kan?"

"Ngga, Cak. Gue... Dia ngga mau jujur sama gue waktu gue tanyain. Mana mungkin gue terima dia kalo dia ngga jujur?" lirih Via yang bahunya langsung diusap Shilla. "Rio mana?" tanya Via akhirnya, melihat Cakka tak berminat merespon.

"Gue suruh pergi bareng orang gue. Dia kan lebih teliti dari gue," jawab Cakka. Sedetik setelahnya, ia memajukan tubuh mendekati Via. "Vi.. Lo sekarang udah tau kan faktanya.. Gue bukannya mau ikut campur urusan lo sama Gab, tapi bisa ngga lo tetep deket sama dia? Gitu?"

Via tak sempat menjawab karena detik saat Cakka selesai bertanya, ia langsung mengumpat lantaran ponselnya berbunyi. Kemudian mengumpat sekali lagi saat melihat nama penelepon-nya. Cakka me-reject panggilan itu.

Tiga kali panggilan itu berulang, hingga Shilla merekomendasikan Cakka untuk mengangkatnya. Cakka menurut, dan seketika itu ia memejamkan mata dengan kesal.

"Kamu hutang lima belas juta sama papa! Sekarang kamu juga panggil orang-orang papa! Kamu lagi transaksi narkoba?! Melawan preman?!"

"Terus, saya harus diam saja melihat teman saya kesusahan?"

Karena kesal, Cakka berbicara dengan jujur. Sakit juga mendengar papanya yang biasanya sok peduli, tiba-tiba marah besar padanya. Kemudian Cakka melirik Shilla yang sedang mengusap punggung tangannya dengan canggung.

"Teman kamu siapa? Kenapa? Kamu bisa bilang kan sama papa?"

Suara di seberang melembut, seperti suara Derek Hansel yang biasanya. Benak Cakka masih menolak bercerita, namun sentuhan Shilla di punggung tangannya entah mengapa memaksanya berbicara.

"Alvin. Orangtuanya kehabisan uang makanya Cakka ambil lima belas juta. Lalu tiba-tiba dia diculik entah kenapa."

Tak terdengar suara satu pun selama beberapa saat di seberang sana. Cakka juga tak berharap banyak. Ia sudah bersiap memutuskan panggilan itu saat suara Derek terdengar lagi.

"Papa transfer lagi 20 juta ke rekening Dana. Suruhlah orang kita mencari Alvin secepat dan sebaik mungkin.Tapi papa minta kamu pulang. Mama kangen kamu."

Cakka melirik Shilla dan Via, lalu jam tangannya. Jam 3 pagi! "Ada teman. Jangan sok peduli! Kalau ngga mau bantu, biarkan saja saya berhutang pada Anda."

Tut.

"Kalian tidur aja," suruh Cakka. Shilla setuju karena matanya telah memberat. Masalahnya, Via seperti telah tenggelam dalam dunianya sendiri sejak tadi. Shilla telah berusaha memanggil, namun Via tak menggubris. "Natavia Allena, ke kamar Alvin sana! Lo sama Shilla tidur aja di sana."

"VIA!!"

"OOII!!!"

"Hah? Ya? Apa?"

***

Cakka masih menggelengkan kepala meski kejadian itu telah terjadi 2 jam yang lalu. Kini, mentari mulai menampakkan sinarnya dan di asbak di depannya, sekitar 5 puntung rokok telah habis. Di antara jari tengah dan telunjuknya sendiri masih ada sebatang rokok panjang.

Cakka mengantuk, tapi ia tak bisa tidur. Ia mengkhawatirkan Alvin. Meski kondisi sahabatnya itu telah stabil, tapi tetap saja... Rentan. Juga Gabriel. Dan Rio, yang entah berada di mana juga sekarang. Cakka jadi menyesal kenapa tadi ia tidak ikut mereka. Tapi penyesalannya tak perlu terlalu panjang, karena saat ponselnya berdering, nama Rio muncul. Cakka sigap mengangkatnya.

"Halo? Gimana?"

"Ketemu. Kami balik ke RS sekarang. Dia sehat-sehat aja sih, tapi lo panggil dokter aja buat jaga-jaga. Gue mau telpon Om Dana dulu. Bye."

Begitu saja, dan Cakka segera berlari kembali ke kamar sahabatnya.

Shilla dan Via masih tidur berdampingan, saling memunggungi. Gabriel juga tidur, namun Cakka membangunkannya.

"Engghh.... Yhaaa???"

"Alvin udah ketemu! Bangun lo!" seru Cakka dengan senyum mengembang. Kalimatnya itu seperti pompa hidup bagi Gabriel, yang segera melompat bangun.

"Serius?"

"Dua rius!!"

Senyum Gabriel mengembang, namun pudar kala melihat Shilla dan Via di kasur seberang. Cakka mengerti, lalu menjelaskan, "Mereka sampai tengah malam disini, jadi gue suruh tidur disitu. Lo juga tenang aja, karena sekarang mereka bertiga termasuk Ify, minus Keke, udah ngerti keadaan lo dan Alvin."

Gabriel mendesah. "Kok gue nyesal yah, ngaku ke mereka?"

"Udah kejadian. Yaudah lo tunggu sini. Gue mau panggil dokter dulu," ujar Cakka sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu.

BACK HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang