Rio tiba tepat pukul enam. Memang dasar manusia perfeksionis. Dan yang menyebalkan, Rio telah menunggu selama sepuluh menit dan belum juga dibukakan pintu. Dengan kesal, Rio terus mengetuk, menekan bel, serta menghubungi ponsel Alvin, Gabriel, dan Cakka bergantian. Tak peduli bahwa mungkin orangtua sahabatnya itu yang akan terganggu.
Cklek.
"Heh, lo tuh ngajakin janjian jam ber-"
Rio menahan rentetan kalimatnya saat mendapati tubuh Cakka yang membukakan pintu limbung ke arahnya. "Cak, lo kenapa?" tanya Rio panik. Segera, Rio memapah Cakka memasuki rumah kembali. Ia mendudukkan Cakka di sofa ruang keluarga.
Cakka tampak sangat lemas. Mata sayunya menatap Rio, memohon agar Rio melakukan sesuatu. Rio panik dan hal pertama yang ia pikirkan ialah membuka pintu kamar Gabriel. Kosong. Kamar Alvin? Sama saja.
Rio kembali pada Cakka, lalu bertambah panik ketika menyadari nafas Cakka berubah semakin berat, nyaris seperti saat Alvin kambuh. Rio pun berlari ke arah dapur dan berusaha menemukan sesuatu untuk membantu sahabatnya itu. Otaknya memutar sesuatu, berusaha mengingat. Namun tak menemukan. Rio tidak tahu apa yang harus ia cari, padahal seharusnya ia tahu dimana kotak P3K rumah ini berada.
Dengan langkah gontai namun masih panik, Rio kembali ke ruang keluarga membawa segelas air hangat. Mata Cakka telah terpejam sempurna. "Cak!!"
Rio meletakkan gelas di meja lalu mengguncang tubuh Cakka dengan panik meski tak membuahkan hasil. Rio sudah hampir menangis putus asa saat beberapa suara mengagetkannya.
"Happy birthday!!!"
Alvin muncul dengan kue tart coklat berbentuk kotak dengan lilin 18 di atasnya. Di sampingnya, Gabriel, Keke, Shilla, dan Ify bertepuk tangan ceria. Bahkan, Cakka telah bangun dari aktingnya dan merangkul Rio dengan semangat. Membuat Rio mendelikkan matanya, bersiap membakar mereka hidup - hidup.
"Nggak lucu!" ketus Rio. Bibirnya mengerucut dan ia mendudukkan diri di sofa. Ia segera disodori kue oleh Alvin.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga.. Sekarang juga.. Sekarang juga..."
Rio masih ngambek. Ia menolak meniup lilin itu sehingga Cakka terpaksa mencengkram pipi Rio dan memaksanya meniup lilin. Berhasil.
Fuuhhh...
Bertepatan dengan ditiupnya lilin itu, pintu diketuk. Gabriel bergegas mendekati pintu sebelum orang lain sempat mencegah.
"Hai, gue telat ya?"
***
Suasana ruang tamu berubah canggung setelah kepergian Gabriel dan Cakka dari ruang tamu. Via, si tamu yang datang terlambat tadi, masih terdiam dengan raut syok. Demikian juga gadis yang lain, mereka terlalu terkejut saat sekali lagi mendapati Gabriel berteriak - teriak ketakutan.
"Ehm.."
"Gimana, Ke?" tanya Rio, merespon cepat gumaman Keke. Sangat jelas terlihat bahwa lelaki yang biasanya tenang itu sedang gugup sekarang. Ia bahkan segera meraih pisau kue yang sedari tadi teronggok di meja, lalu mengiris kue menjadi beberapa bagian.
Keke pun menggaruk belakang kepalanya dengan canggung, "Ada apa dengan Gabriel? Dia dua kali loh kaya gitu waktu berhadapan dengan Via. Ada apa dengan mereka?"
Inilah! Bagaimana Rio dan Alvin harus menjawabnya? Kedua lelaki itu bertatapan bingung hingga Rio memutuskan memberi potongan kue pertamanya pada Ify. Ify menerima dengan kaku.
"Gu- gue salah apa sama Gabriel? Bu- bukannya dia.. Apa dia benci gue karena gue tolak?" gagap Via. Air matanya mulai menetes. Ia takut dibenci oleh orang yang ia sayang. Iya... Via memang menyayangi Gabriel.
KAMU SEDANG MEMBACA
BACK HOME
Teen FictionBagaimana jika seorang pengidap Double Identity Disorder dan pengidap lemah jantung adalah sepasang saudara kembar? Bagaimana jika mereka berteman dengan seorang perfeksionis dan seorang yang super slengean dan tak peduli aturan? Apa jadinya jika me...