Masalah Cakka selesai begitu saja setelah Cakka menampar wajah Mikha dan memakinya dengan beberapa nama anggota kebun binatang.
Kini ia dan ketiga sahabatnya telah berkumpul kembali bersama Alvin. Ditambah Via, Keke, Shilla, dan Ify karena sekarang sudah jam masuk sekolah. Mereka semua memutuskan tidak akan membahas masalah kemarin lagi.
"Cak, temen cewek lo ada yang desainer gitu ngga?" tanya Via. "Temen lama gue ada yang mau bikin dress untuk tunangan gitu."
"Hah? Gila, seumur kita udah tunangan?" pekik Ify tertahan.
"Iya. Lo mau? Minta tuh sama Rio," balas Via tanpa pikir panjang. Ucapannya sontak membuat suasana hening, semua mata tertuju pada Rio dan Ify.
Lelaki yang ditatap berusaha mengabaikan dan tetap menulis di bukunya dengan tenang. Namun lama kelamaan ia risih juga hingga menengadahkan kepala.
"Gue masih 17, hidup masih panjang. Penting amat lo pada mikirin soal tunangan segala," ujar Rio dengan nada datar sebelum kembali menulis.
"Eh, eh, Via," panggil Cakka ceria, segera setelah Rio selesai dengan kalimatnya. "Kebetulan temen cewek gue ngga ada yang desainer baju setau gue. Coba nanti gue tanyain mereka ada kenalan nggak."
"Oke, oke. Makasih ya, Cak. Baik deh lo," puji Via, membuat hidungnya dicubit Gabriel dengan gemas. "Aduh, apa sih?"
"Jangan manis-manisan sama Cakka dong," ucap Gabriel seraya tersenyum dan membelai kepala Via. Via balas tersenyum, membuat teman-temannya mencibir keromantisan mereka.
"Teman-teman," panggil Shilla tiba-tiba. Ia berdehem gugup kala semua mata memandangnya. "Nanti main yuk?"
***
Gabriel dan Via berjalan menjauh sambil berangkulan, diikuti Rio dan Ify yang berjalan bersebelahan namun tidak saling bersentuhan. Cakka berniat menyusul sambil merangkul Keke, namun Shilla dengan sigap menarik lengan Cakka ke arah yang sama dengan keempat teman yang sudah mendului mereka.
"Oy, oy, apa nih??" seru Cakka seraya mengikuti langkah Shilla. Kepergiannya menyisakan Keke dengan Alvin di paling belakang.
Keke menatap Alvin canggung, ingin berlari menyusul yang lain namun tak tega pada Alvin. Jadi, Keke berjalan pelan seraya menundukkan kepala.
"Ngga lari nyusul yang lain?" tanya Alvin. Ia tersenyum menatap Keke, membuat Keke sedikit memalingkan wajah dengan malu.
"Ngga ah.. Kasihan lo, ntar sendirian," jawab Keke tanpa menatap Alvin.
"Duh, baiknya. Gue jadi terharu loh," balas Alvin sambil tersenyum. Kemudian, mereka berjalan dalam keheningan. Entah kemana teman-temannya yang lain. Alvin dan Keke hanya berjalan mengikuti insting mereka.
"Al, sakit nggak?" tanya Keke tiba-tiba kala mereka menaiki eskalator.
"Sakit apa?" tanya Alvin bingung.
"I- itu.. Kata Shilla-"
"Ah, ya. I see. Sudah, ngga usah dipikirkan," tukas Alvin. Kemudian ia menoleh membelakangi Keke, gestur tak ingin membahas. Ia tak tahu jika Keke baru saja memberikan wajah sedih dan kecewa.
"Lo ngga percaya sama gue, ya?" tanya Keke lagi. Mereka sudah turun dari eskalator saat ini.
"Hah? Kenapa?" balas Alvin. Lelaki itu menunduk, menolak menatap Keke. Jelas Alvin tahu maksud Keke dan Alvin sungguh merasa bersalah karena membuat Keke merasa begitu.
"Lo cerita sama yang lain, tapi sama gue lo ngga bilang? Kita temen, kan?"
Temen..
Lo lebih dari temen, Ke...
"Yah.. Ada alasan kenapa begitu, Ke," jawab Alvin akhirnya. Kemudian matanya menangkap sosok Via di sebuah toko baju. Alvin segera menggandeng tangan Keke tanpa permisi ke toko baju tersebut.
***
"Padahal gue udah ancang-ancang banget loh Al, buat deketin lo sama Keke," bisik Shilla. Ia duduk berdua saja dengan Alvin di foodcourt sementara yang lain sedang bermain di Timezone. Alvin tidak bisa memasuki Timezone, takut kambuh.
"Ya, ngga apa. Gue juga ngga berharap banget kok buat jadi sama dia," gumam Alvin. "Eh, lo.. Jadi lo fix kuliah kedokteran nih nanti?"
Shilla mengangguk malu. "Pingin ke Harvard, atau John Hopkins. Menurut lo bisa nggak?" tanya Shilla seraya menyedot bubble tea-nya.
Mendengar universitas impian Shilla membuat Alvin bersiul kagum. "Bisa dong! Lo kan pinter, Shil."
Shilla hanya tersenyum malu, lalu menunduk dan fokus pada bubble tea-nya. Kediamannya membuat Alvin juga diam, memilih mengeluarkan ponsel.
"Alvin," panggil Shilla. "Maaf, ya. Sebenernya tadi gue mau tarik biar Keke yang nemenin lo..." lanjut Shilla setelah perhatian Alvin tertuju padanya.
"Ya ampun, serius, Shil. Gue ngga apa. Sama lo juga ngga keberatan," senyum Alvin. Lalu ia terkesiap kala tangan Shilla bergerak dengan cepat menutup mulutnya.
"Jangan senyum! Nanti gue susah move on!"
Alvin terkekeh dalam bekapan tangan Shilla. Perlahan, ia turunkan tangan gadis itu. "Maaf."
"Al, gue malu kalo lo kaya gitu terus," ucap Shilla, membuat Alvin makin terkekeh. Bahkan, Shilla mulai ikut tertawa, menyebabkan mereka tertawa bersama entah apa yang lucu.
Lalu nafas Alvin menjadi berat. Shilla refleks menghentikan tawanya dan menatap Alvin dengan panik.
"Al, tarik nafas!"
Tentu saja Alvin memang berusaha melakukannya, tapi entah mengapa dadanya terasa sesak sekali. Seolah semua oksigen menolak masuk ke hidungnya. Jantungnya terasa di remas. Darah seolah berhenti mengalir di tubuhnya. Kulit Alvin memucat.
Dengan gugup Shilla meraih tas Alvin, membuka setiap risleting dan berusaha mencari obat-obatan cowok itu. Tapi tidak ketemu.
Sementara itu, Alvin makin merasa sesak.
Hhhh... Hhh.... Hhhhh...
"Jangan pingsan, jangan pingsan," mohon Shilla seraya menekan ponselnya cepat, menghubungi Gabriel. Atau Rio. Atau siapapun.
"Halo, Shil?"
Suara Rio terdengar bagaikan oasis bagi Shilla, seiring dengan kesadaran Alvin yang mulai menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BACK HOME
Teen FictionBagaimana jika seorang pengidap Double Identity Disorder dan pengidap lemah jantung adalah sepasang saudara kembar? Bagaimana jika mereka berteman dengan seorang perfeksionis dan seorang yang super slengean dan tak peduli aturan? Apa jadinya jika me...