Lima Puluh Dua

419 20 0
                                    

Gadis itu menatap puas tampilan dirinya di depan cermin.

Kaus croptop warna putih dibalut jaket jins berwarna merah muda, dibawahnya ia mengenakan celana pendek hitam setengah paha. Tak lupa rambutnya ia ikat menjadi ekor kuda, kemudian memasang softlens ke kedua matanya. Sentuhan akhir, gadis itu menepukkan bedak di seluruh wajahnya serta liptint merah muda di bibirnya.

Tersenyum senang, gadis itu meraih clutch bag sebagai pelengkap. Sekali lagi ia mematut diri di depan cermin. Berbeda sekali dengan tampilan dirinya yang biasa.

Shilla mengangguk puas. Kamu bukan Shilla, kamu Renata.

***

Sudah seminggu ini Shilla mengikuti kursus Bahasa Inggris untuk mempersiapkan ujian TOEFL maupun IELTS-nya. Dan sejak dimulainya kursus ini, Shilla telah berniat mengganti penampilannya serta mengenakan wajah baru, wajah Renata. Renata yang ceria dan akan memastikan bahwa dirinya berdampak, bukannya Shilla yang tak terlihat di sekolah.

"Hoi, Re, baru nyampe lo?"

Shilla -atau Renata- menoleh, mendapati seorang gadis seumuran dirinya tengah berlari kecil, masih mengenakan helm di kepala. Dia Dea.

"Helm dilepas dulu kali, De," gurau Shilla, membuat Dea buru-buru melepaskan helm-nya.

"Duh, pingin minggat aja gue dari sini," gerutu Dea sembari keduanya melangkah menuju kelas. Tak seperti Shilla yang ikut kursus karena kehendaknya sendiri, Dea bercerita jika ia mengikuti kursus ini karena tuntutan kedua orangtua-nya.

"Mahal, kali, kursus disini. Mending tetep didatengin," balas Shilla dengan nada yang dibuat seceria mungkin. Ia bahkan tersenyum ceria. Memuaskan, tak nampak seperti dipaksakan karena Shilla sudah berlatih tersenyum seperti itu selama hampir tiga minggu.

"Ya, sih. Tapi gue kan ngga pingin Inggris. Lebih suka Mandarin," sungut Dea. Meski begitu, nyatanya selama seminggu kursus, yaitu dua pertemuan, Dea terus datang dan belajar dengan rajin. Sekarang ini bahkan sudah pertemuan ketiga. "Tapi ada lo sih, jadi gue ikhlas-in deh belajar disini."

Shilla terkekeh. Yes, Renata memang berdampak.

***

Ini hari kedua setelah Cakka pergi ke Papua dan menghilang tanpa kabar. Gabriel dan Rio mencoba meyakinkan diri bahwa Cakka akan baik-baik saja bersama kedua orangtua-nya, namun tentu saja itu hal yang sulit.

"Kenapa sih, kamu panik bener Cakka gabisa dihubungin?" tanya Ify, melihat Rio yang biasa tampak tenang kini terlihat berantakan.

Rio mendengus, hampir marah jika tak ingat yang bertanya adalah kekasihnya sendiri.

"Cakka itu ngga pernah betah berada satu ruang dengan orangtua-nya. Biasanya dia disuruh di rumah aja cuma ngurung diri di kamar, lo pikir apa yang mungkin terjadi sampe Cakka mau dipaksa ke Papua?"

Ify menatap Gabriel yang baru saja menjelaskan.

"Gue nggak mau berpikiran buruk tentang dia maupun Om Derek dan Tante Chintya, apalagi dengan kondisi Alvin yang belum membaik. Tapi gimanapun juga gue tetep aja khawatir kalo dia ngga bisa dihubungin gini," lanjut Gabriel, bertepatan dengan kehadiran Via di lorong ICU.

"Gab, Yo, ganti baju dulu gih. Gue mau panggil Keke juga," ucap Via sembari meletakkan sebuah tas hitam di samping Gabriel. Ia melirik Ify, memberi isyarat agar kedua lelaki itu menurut padanya, lalu langsung berjalan ke bilik perawat guna meminta pakaian ICU.

Via keluar dengan balutan pakaian ICU, tepat waktu untuk melihat Gabriel dan Rio beranjak bagaikan mayat hidup tanpa semangat dibimbing Ify yang membawa tas hitam. Via menatap dalam diam kepergian mereka ke toilet, baru setelah itu masuk ke ruang ICU.

Bau obat tercium tajam begitu pintu ditutup. Suara mesin pendeteksi detak jantung juga terdengar keras, bersamaan dengan isak tangis seseorang. Dengan cepat Via langsung mendekat dan menarik Keke, sosok yang menangis itu, ke dalam pelukan.

"Tenang, Ke, tenang," bisik Via, mengusap punggung Keke. "Alvin nggak suka lo nangis, ya?"

Nafas Keke terasa tersendat, air mata tak mau berhenti keluar. Sudah satu bulan Alvin tak membuka mata, padahal tenggat waktu yang diberikan hanya tiga bulan. Jika melebihi, maka alat yang menunjang hidup Alvin akan dilepas paksa. Dengan kata lain, Alvin-nya pergi. Keke tak sanggup membayangkannya.

"Hiks... Hikss.... Hhh..."

Hati Via tersayat melihat sahabatnya menangis. Sambil terus mengusap punggung Keke, Via melirik Alvin dengan tatapan nelangsa. Please, Al, wake up. Stay strong for us, mohonnya dengan tulus.

"Keluar dulu yuk, Ke? Gantian, yang lain juga mau ketemu Alvin."

Keke tak merespon, namun menurut saja saat Via menggiringnya berdiri dan keluar dari ICU. Wajah sembab Keke langsung terlihat begitu sinar terang lorong ICU menerangi wajahnya.

"Ke, lo nangis lagi?" tanya Ify, meninggalkan Rio yang tadi dipeluknya. Pertanyaan yang salah, karena tangis Keke malah keluar lagi.

Melihat itu membuat Gabriel sungguh merasa putus asa. Gabriel sungguh menyesal pernah merasa iri dan marah pada Alvin saat mereka kecil dulu. Maka dari itu ia beranjak lantas memasuki ruang ICU tanpa diketahui yang lain. Gabriel mengambil tempat yang sebelumnya ditinggalkan Keke, menatap lekat kembarannya tanpa berani berkedip.

"Al..."

Tak ada respon, tentu saja. Tapi Gabriel tetap melanjutkan.

"Kamu tahu? Aku sayang kamu. Selalu, dari dulu sampai selamanya," senyum Gabriel. "Dulu aku nggak sadar, makanya aku cemburu kamu dapat perhatian lebih dari mama-papa. Aku marah karena mereka ngga peduliin aku."

Gabriel menunduk, tangan kanannya menggenggam tangan Alvin dengan lembut. "Aku tahu aku salah, aku sayang kamu. Aku tahu dulu kamu memang perlu perhatian yang lebih banyak. Aku sehat, kamu tidak. Aku bodoh sekali saat kecil," kekeh Gabriel dengan miris. Tangannya yang bebas mengepal erat bersamaan bulir air mata yang mulai menetes.

"Aku pasti benar-benar bodoh, karena saat sadar aku menyayangimu, aku sudah terlalu besar untuk merasakan masa kanak-kanak yang aku idamkan. Aku juga sudah terlalu lama menyemburkan kemarahan sehingga sulit sekali bagiku untuk meredamnya," ucap Gabriel.

"Aku mau kamu sembuh.. Aku mau kamu buka matamu, Al.. Aku janji aku juga akan sembuh. Kamu ingat, kan, kalau Sova sudah menghilang dari aku?"

Kemudian Gabriel terdiam untuk beberapa menit. Gabriel membiarkan saja air matanya menetes hingga mereka berhenti sendiri dan nafasnya kembali normal.

"Kamu juga harus bangun untuk Keke. Sejak diberitahu kalau waktumu tinggal tiga bulan lagi, dia selalu menangis. Kamu dengar tangisannya, kan? Padahal kamu pasti ngga suka dia sedih," ujar Gabriel. Kepalanya menoleh sedikit ke arah pintu seolah bisa melihat Keke disana. "Kamu baru berapa menit pacaran sama Keke waktu kamu tidur lagi. Ayolah, kamu belum menghabiskan waktu romantis sama dia!"

Gabriel mencoba tertawa, tapi rasanya berat... "Rio, Via, Ify, dan Cakka juga kangen kamu..."

Lalu ucapan Gabriel terhenti seketika paska merasakan tangan yang digenggamnya sedikit bergerak. Gabriel mematung, mengangkat tangannya sedikit sambil mendekatkan wajah. Tanpa berkedip.

Benar.

Jari telunjuk itu bergerak lemah.

Panik sekaligus bahagia, Gabriel menekan tombol di samping kasur sambil berlari keluar.

BACK HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang