Setelah tiga hari absen, kini Alvin kembali masuk sekolah. Hari ini, jaket yang ia kenakan berbahan lebih tebal dari biasanya. Tentu itu karena ia baru saja keluar dari rumah sakit tadi malam.
"Al!! Dari mana aja, kok Gabriel masuk elo nggak?" sapa Via. Gadis itu baru saja meletakkan tasnya di bangku, lalu menghampiri bangku Alvin dan Gabriel yang hanya berbeda satu baris itu.
"Hei, Gab," lanjut Via sambil terkekeh ketika melihat muka masam Gabriel. Gabriel pun mengacungkan jempolnya seraya tertawa, lalu mengacak rambut gadis itu pelan, membuat Via berdecak sebal.
"Woo.. Ada yang nggak gue tau, nih??" sela Alvin.
"Nggak, ihh.. Ayo jawab gue, Al."
"Hah? Ya nggak apa, Vi. Gue ada acara. Lagian, kenapa lo ngga tanya Gabriel aja??" senyum Alvin.
"Oh, ya udah deh. Gabriel ngga mau jawab gue tuh. Ehm, gue keluar dulu ya. Ify udah mau datang, katanya," pamit Via. Gadis itu melambaikan tangan, lalu berlari kecil keluar kelas setelah melihat si kembar itu membalas lambaiannya.
Berhubung sekolah sudah agak ramai, Via pun melangkah berhati-hati. Sesekali ia membalas siswa yang menyapanya dengan senyuman, membuat siswa-siswa itu meleleh.
Tiba juga Via di gerbang sekolah. Untunglah, bertepatan dengan masuknya motor Septian ke area sekolah. Gadis di boncengannya -yang tentu saja bernama Ify- langsung menepuk-nepuk pundak Septian agar menghentikan motornya. Motor itu berhenti tepat di depan Via.
"Hei, Vi," sapa Septian dengan seulas senyum di balik helm butut-nya. Via membalasnya singkat, karena Ify akan memukul belakang kepalanya jika Via sedetik saja lebih lama memberi senyum pada Septian.
"Persiapan pensi gimana, Vi?"
"Belum rapat lagi, kok. Gabriel juga belum ada agenda," jawab Via, lalu berpaling pada Ify. Setelah itu, kembali menatap Septian. "Kalo gitu, gue dan Ify duluan ya, Kak."
Septian mengangguk, lalu menyuruh kedua gadis itu jalan terlebih dulu. Via dan Ify pun menurut. Keduanya bahkan tak repot-repot menoleh lagi untuk memastikan kepergian Septian dari gerbang.
"Tumben banget lo nggak datang telat, Fy."
"Kampret banget. Gue berasa datang telat mulu. Padahal datang tujuh menit sebelum bel kan ngga bisa di kategorikan telat," gerutu Ify sambil terus melangkah. Ify sedang berakting ngambek, jadi ia terus saja jalan tanpa peduli apakah Via masih di dekatnya atau tidak.
Dan kenyataannya, Via telah berhenti melangkah. Matanya berulang kali mengedip, memastikan penglihatannya itu salah atau tidak.
"Ify, Ify!!"panggil Via. Cukup keras untuk membuat Ify menoleh dan menghampirinya dengan raut bertanya.
"Itu kan Cakka bareng Keke. Salah nggak sih gue?"
Ify segera mengikuti arah pandang Via. Ia memang menangkap seorang lelaki berambut merah sedang berbicara dengan seorang gadis. Tapi, Ify tidak bisa mengenali gadis itu. Untuk itulah, Ify melangkah perlahan mendekati kedua sosok itu. Dan Via mengikutinya. Bukan apa-apa, tapi Via juga penasaran. Namanya juga manusia.
***
"Keke, gue mohon. Gue nggak tau kenapa lo tiba-tiba dingin ke gue. Gue nggak merasa salah apa pun. Gue masih mau temenan sama lo, Ke."
Keke diam saja. Memilih menatap dinding, bukannya lelaki tampan yang memandangnya miris dari belakang.
"Gue pikir, selama ini kita sudah berteman. Sepertinya gue salah," gumam Cakka. "Padahal gue berharap bisa berteman, bahkan bersahabat dengan lo. Gue merasa nyaman di dekat lo, Ke."
KAMU SEDANG MEMBACA
BACK HOME
Novela JuvenilBagaimana jika seorang pengidap Double Identity Disorder dan pengidap lemah jantung adalah sepasang saudara kembar? Bagaimana jika mereka berteman dengan seorang perfeksionis dan seorang yang super slengean dan tak peduli aturan? Apa jadinya jika me...